RESENSI JURNAL

Mendorong Kontribusi Orang Kaya Melalui Reformasi Pajak Penghasilan

Redaksi DDTCNews
Jumat, 30 Juli 2021 | 13.00 WIB
Mendorong Kontribusi Orang Kaya Melalui Reformasi Pajak Penghasilan

BEBERAPA dekade terakhir, konsentrasi pendapatan dan kekayaan telah mengalami pertumbuhan tertinggi selama sejarah, terutama bagi individu yang berada di piramida kekayaan teratas.” Pernyataan Victor Thuronyi tersebut bertindih tepat dengan adagium dalam sistem pajak bahwa pihak yang lebih kaya harus membayar pajak lebih besar.

Pada periode tersebut, tokoh-tokoh akademisi, organisasi internasional, bahkan politisi sekalipun menyerukan ide dan pemikiran mengenai mekanisme pemajakan bagi orang kaya. Tak sedikit pula negara yang melakukan penggencaran pajak bagi kelompok ini dengan mengadopsi jenis-jenis pajak kekayaan baru dalam sistem pajaknya.

Dalam praktiknya, merumuskan suatu jenis pajak atas kekayaan bukanlah hal yang mudah, khususnya jika dibenturkan dengan dinamika politik di masing-masing negara. Konflik kepentingan tak jarang menjadi batu sandungan upaya reformasi pajak.

Kondisi tersebut memang lumrah terjadi lantaran kelompok berpenghasilan tinggi sebagai pressure group memiliki akses yang lebih besar kepada aktor-aktor politik sebagai perumus kebijakan.

Pakar pajak, Victor Thuronyi menawarkan pendekatan alternatif dalam memajaki orang kaya. Dalam publikasinya berjudul All the Above: How to Tax Wealthy, ia menilai cara efektif mengenakan pajak bagi orang kaya tak hanya dapat menumpu pada satu jenis pajak, tetapi melalui kombinasi dari berbagai instrumen kebijakan.

Berangkat dari konteks Amerika Serikat, Thuronyi meyakini distribusi beban pajak yang adil dapat dicapai secara efektif melalui reformasi beberapa aspek kunci dalam sistem pajak penghasilan ketimbang memperkenalkan pajak kekayaan. Opsi tersebut dipercaya dapat menghindari berbagai peluang konflik konstitusionalitas yang kerap menjadi aral terbesar dalam perumusan pajak kekayaan.

Justifikasi lainnya adalah isu keadilan yang mengakar pada sistem pajak penghasilan AS. Bagai jauh panggang dari api, sistem pajak AS justru mengobral yang diistilahkan Thuronyi sebagai ‘tax giveaways’ bagi lapisan kelompok penghasilan teratas alih-alih menggunakannya untuk mengurangi ketimpangan pendapatan dan kekayaan.

Secara umum, artikel yang diterbitkan pada 2021 ini menawarkan 3 (tiga) rekomendasi kebijakan utama. Pertama, pengenaan capital gain tax. Seperti diketahui, mayoritas kekayaan dari golongan berpenghasilan tinggi tak lagi berasal dari penghasilan aktif, tetapi modal yang diperoleh dari kegiatan investasi.

Untuk itu, upaya menghapus dikotomi antara pajak atas keuntungan modal dengan PPh secara umum sebagai bagian dari reformasi pajak menjadi krusial. Selanjutnya, capital gain tax dapat dikenakan pada tingkat tarif yang sama dengan PPh umum.

Urgensi pengaturan ulang pajak atas laba dan pajak capital gains juga dikemukakan Guru Besar Hukum Pajak Universitas Katholik Leuven Belgia Frans Vanistendael. Menurutnya, pengaturan ulang itu perlu disesuaikan dengan struktur sistem pajak nasional (Vanistendael, 2020).

Pada praktiknya, capital gain tax perlu dipandang secara jernih. Jika tak dirumuskan dan diterapkan secara tepat, pajak ini berpeluang memiliki sifat kontraproduktif terhadap sistem perekonomian karena dapat mengarah pada penurunan investasi dan produktivitas dunia usaha (Milford, 2019).

Kedua, pengenaan pajak atas pengeluaran tambahan (supplemental expenditure tax/SET). SET merupakan bentuk pajak pengeluaran individu yang berdasar pada arus kas. Menurut Thuronyi, penerapan SET dapat memberikan kesempatan untuk melampaui ketergantungan suatu negara atas sistem withholding pajak penghasilan yang dinilai kurang efektif.

Alih-alih menjadi antitesis pajak penghasilan, SET dapat bersifat komplementer. Pemberlakuannya dapat memfasilitasi reformasi dan penyederhanaan pajak penghasilan, salah satunya dapat digunakan untuk mensubstitusi alternative minimum tax (AMT).

Ketiga, mengadopsi pajak atas warisan (inheritance tax). Penerapan inheritance tax memang lebih mudah dilakukan dengan mengubah ketentuan dalam sistem pajak penghasilan dan mengelompokannya menjadi objek pajak.

Dalam konteks sistem pajak AS, hal ini dapat dilakukan dengan cara mencabut estate tax dan pajak atas hibah serta mengkonversinya menjadi pajak warisan. Selain dapat memperluas basis pajak yang sekaligus mendongkrak penerimaan, opsi ini juga dapat mengatasi ketimpangan akibat akumulasi kekayaan antargenerasi (Darussalam, Kristiaji, dan Yustisia, 2019).

Thuronyi juga menekankan perlunya meninjau ulang keseluruhan sistem dan aturan pajak penghasilan. Sebab, pletora relaksasi pajak bagi kelompok yang berada di piramida kekayaan teratas tersebut dalam jangka panjang dapat mencederai fungsi pajak sebagai instrumen redistribusi pendapatan.

Satu prasyarat yang dibutuhkan dalam reformasi sistem pajak penghasilan secara substantial adalah komitmen pemerintah untuk menjadikannya sebagai prioritas utama. Pemerintahan baru AS berulang kali menyatakan ingin memberikan kesetaraan perlakuan pajak. Namun, hal ini tersebut tak serta merta diterjemahkan dengan baik dalam pilihan kebijakannya.

Meski artikel ini berfokus pada kebijakan pajak AS, secara luas, rekomendasi yang ditawarkan dapat pula menjadi pertimbangan bagi berbagai negara lainnya, khususnya anggota OECD. Gagasan multi instrumen ini juga menjadi relevan bagi konteks Indonesia.

Layaknya AS, hingga saat ini Indonesia juga tidak mengenal pajak kekayaan melainkan tersebar pada beberapa jenis pajak seperti pajak bumi dan bangunan (PBB) dan pajak ketika suatu aset dijual dan memperoleh nilai tambah.

Jenis pajaknya pun kebanyakan masih bersifat final tax, padahal sistem final tax tidak dapat memotret secara menyeluruh potensi penerimaan sebenarnya dari kaum kaya. Untuk itu, reformasi yang difokuskan pada beberapa unsur kunci dalam sistem pajak penghasilan juga tidak dapat disepelekan.

*Artikel ini merupakan artikel yang diikutsertakan dalam Lomba Resensi Jurnal untuk memeriahkan HUT ke-14 DDTC. Simak artikel lainnya di sini.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
user-comment-photo-profile
banonkeke
baru saja
Indonesia memiliki potensi yang besar untuk dapat memajaki HWI. Terlihat dari postur penerimaan yang masih kecil untuk HWI padahal d inegara maju penerimaan dari HWI menjadi tumpuan. Kendala politis menjadi momok yang sulit dihadapi untuk memajaki orang kaya. Semoga ekosistem politik dan perpajakan dapat sinergi demi kemajuan bangsa.