KEBIJAKAN PAJAK

Kajian dan Mitigasi Penghindaran Pajak Orang Kaya Perlu Ditingkatkan

Muhamad Wildan
Kamis, 22 Mei 2025 | 15.45 WIB
Kajian dan Mitigasi Penghindaran Pajak Orang Kaya Perlu Ditingkatkan

Asisten Profesor Hukum Pajak dan Bisnis dari University of Leeds Federica Casano (kanan). (foto: hasil tangkapan layar)

MALANG, DDTCNews - Kajian mengenai pajak penghasilan dan preferential tax regime bagi orang pribadi yang tergolong harmful dipandang masih perlu ditingkatkan. Kerja sama untuk menangkal penghindaran pajak oleh wajib pajak orang pribadi pun perlu ditingkatkan.

Menurut Asisten Profesor Hukum Pajak dan Bisnis dari University of Leeds Federica Casano, kajian mengenai pemajakan orang kaya (high wealth individual/HWI), insentif yang ditawarkan yurisdiksi kepada orang kaya, dan pola penghindaran pajak oleh orang kaya masih cenderung minim.

"Hingga saat ini, masih belum ada standar terkait apa bentuk preferential tax regime bagi orang pribadi yang tergolong harmful. Mayoritas kajian masih berfokus pada pemajakan atas perusahaan multinasional dan PPh badan," katanya, Kamis (22/5/2025).

Dalam webinar bertajuk Reinventing International Taxation: Navigating the Digital Frontier yang digelar oleh Prodi Perpajakan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, Casano menilai penghindaran pajak dan pemanfaatan preferential tax regime oleh orang pribadi saat ini kian marak.

Selain itu, makin banyak yurisdiksi yang menawarkan rezim pajak khusus guna menarik orang kaya dan pekerja berkeahlian khusus untuk berpindah dan menempatkan modal di negaranya. Sayangnya, belum ada kajian mengenai rezim tersebut dan pengaruhnya terhadap sistem pajak yang berlaku di yurisdiksi lain.

"Apa efeknya bagi masyarakat di yurisdiksi yang ditinggalkan? Yurisdiksi tersebut akan kehilangan SDM unggul dan sekaligus basis pajak. Pada akhirnya, beban pajak akan ditanggung oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah dan tak bisa berpindah ke negara lain. Apakah ini adil?" ujar Casano.

Hingga saat ini, yurisdiksi-yurisdiksi juga masih enggan membahas dan memulai standarisasi terkait dengan rezim PPh orang pribadi yang tergolong harmful.

Casano menceritakan bahwa Uni Eropa telah berulang kali mendorong pembahasan perihal harmful preferential tax regime dalam ketentuan PPh orang pribadi. Namun, yurisdiksi-yurisdiksi anggota Uni Eropa enggan membahas topik tersebut dengan alasan kedaulatan pajak.

"Yurisdiksi anggota Uni Eropa merasa telah kehilangan kedaulatan atas PPh badan sehingga mereka tidak ingin kehilangan kedaulatan atas PPh orang pribadi," tuturnya.

Pada tingkat global, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) juga masih kesulitan untuk mengajak yurisdiksi-yurisdiksi guna membahas pemajakan atas orang pribadi.

Sebagai informasi, Indonesia juga memiliki rezim pajak yang dirancang guna menarik warga negara asing (WNA) berkeahlian khusus untuk bekerja di Indonesia.

Sesuai dengan Pasal 442 PMK 81/2024, WNA yang menjadi SPDN bisa dikenai PPh hanya atas penghasilan dari Indonesia sepanjang WNA tersebut memiliki keahlian tertentu. Dalam PMK itu, tercatat ada 25 pos jabatan yang memenuhi kriteria keahlian tertentu.

Pengenaan PPh hanya atas penghasilan Indonesia bagi WNA berkeahlian khusus yang menjadi SPDN berlaku selama 4 tahun pajak sejak WNA menjadi SPDN. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.