LAW Business Research, sebuah platform agregator karya ilmiah yang berbasis di London, UK kembali menerbitkan publikasi terkait dengan sengketa perpajakan dan litigasi di berbagai negara. Publikasi Lexology In-Depth: Tax Disputes and Litigation edisi ke-13 diterbitkan pada Mei 2025.
Adapun publikasi ini sebelumnya berjudul The Tax Disputes and Litigation Review. Law Business Research mengintegrasikan The Law Review ke dalam Lexology. Adapun Lexology merupakan platform intelijen hukum global.
Dengan fokus pada perkembangan terkini, publikasi ini memberikan wawasan mengenai proses, skala waktu, serta biaya untuk menyelesaikan kesulitan-kesulitan kompleks yang muncul di berbagai yurisdiksi.
"Publikasi ini bertujuan memberikan wawasan mengenai isu-isu yang menjadi pemicu sengketa perpajakan di berbagai yurisdiksi, termasuk prosedur penyelesaiannya, serta kewenangan dan pendekatan otoritas pajak setempat," tulis editor publikasi, Reinout de Boer dan Michael Molenaars, dalam bagian pengantar, dikutip pada Jumat (30/5/2025).
Lexology In-Depth: Tax Disputes and Litigation edisi ke-13 mengupas berbagai isu terkait penyelesaian sengketa perpajakan di 16 negara atau yurisdiksi, salah satunya Indonesia. Ulasan terkait dengan Indonesia ditulis oleh 2 profesional DDTC.
Kedua profesional DDTC yang dimaksud adalah Associate Partner of DDTC Consulting Ganda Christian Tobing serta Senior Manager of DDTC Consulting Khisi Armaya Dhora. Mereka bergabung dengan kontributor dari 15 negara lainnya.
Adapun 15 negara lain yang dimaksud antara lain Australia, Belgia, Siprus, Finlandia, Yunani, Jepang, Luksemburg, Malaysia, Meksiko, Belanda, Selandia Baru, Nigeria, Korea Selatan, Swiss, serta Trinidad dan Tobago.
Dalam pengantarnya, Reinout de Boer dan Michael Molenaars mengungkapkan adanya beberapa perkembangan di Uni Eropa (UE) yang berpotensi meningkatkan sengketa perpajakan lintas negara (cross-border) pada saat ini dan masa mendatang. Ada dua isu penting yang disoroti oleh editor Lexology In-Depth: Tax Disputes and Litigation edisi ke-13 ini.
Pertama, iklim perpajakan internasional saat ini cenderung mengarah pada perlindungan basis pajak domestik, baik melalui kompetisi tarif pajak antarnegara maupun meningkatnya penegakan hukum oleh otoritas pajak. Tak cuma itu, kerja sama multilateral di bidang pajak juga tampaknya mulai berkurang.
Namun demikian, terutama di antara negara-negara Uni Eropa, penerapan aturan Pillar Two yang dimulai sejak awal 2024 menunjukkan kerja sama internasiinal masih punya peran penting. Hal ini juga didukung meningkatnya pertukaran informasi perpajakan antar negara anggota, misalnya terkait platform digital dan aset kripto).
Kedua, perkembangan situasi pada poin pertama di atas secara alami meningkatkan potensi munculnya sengketa antara otoritas pajak dan wajib pajak.
Salah satu bidang yang belakangan ini mengalami peningkatan sengketa di pengadilan pajak —bahkan kerap kali menyangkut nilai pajak yang sangat besar— adalah transfer pricing (pengaturan harga transaksi antar perusahaan dalam satu grup usaha).
Dokumentasi transfer pricing yang disusun secara tepat waktu, konsisten, dan kuat, serta persiapan yang matang untuk menghadapi pemeriksaan pajak dan potensi sengketa hukum, menjadi sangat penting.
Dalam publikasi ini, Ganda Christian Tobing dan Khisi Armaya Dhora menjabarkan secara mendetail mengenai prosedur penyelesaian sengketa perpajakan di Indonesia.
Mereka membuka ulasannya dengan menyodorkan fakta bahwa sebagian besar sengketa perpajakan di Indonesia bersumber dari ketidaksesuaian hasil pemeriksaan pajak atau kepabeanan dan cukai dengan laporan yang disampaikan oleh wajib pajak.
Tak cuma itu, sengketa perpajakan juga muncul karena sanksi administratif yang dianggap tidak sesuai oleh wajib pajak atau masalah prosedural lainnya terkait dengan pemungutan pajak.
Di Indonesia, penulis menjabarkan, sengketa pajak ditangani oleh Pengadilan Pajak. Keberatan awal diajukan terhadap Ditjen Pajak (DJP) selaku otoritas, tetapi umumnya tidak banyak yang terselesaikan di tahap ini.
Dalam pengantarnya, Ganda dan Khisi juga menjabarkan beberapa tantangan yang dihadapi oleh Indonesia terkait dengan penyelesaian sengketa perpajakan. Di antaranya, digitalisasi proses penyelesaian sengketa yang diharapkan tidak mengurangi kualitas putusan, banyaknya pemeriksaan pajak yang seolah-olah menjadi tolok ukur kinerja pemeriksa, hingga belum adanya mekanisme alternatif untuk penyelesaian sengketa di sistem hukum pajak Indonesia.
Karenanya, penulis menggarisbawahi pentingnya bagi DJP untuk memastikan pemeriksaannya telah sesuai dengan prinsip-prinsip good governance dengan tetap melindungi hak wajib pajak dalam menggunakan jalur penyelesaian sengketa.
Dari sisi wajib pajak, perlu juga dipastikan bahwa seluruh bukti yang disampaikan selama proses pemeriksaan dan keberatan pajak tersedia secara lengkap. Hal tersebut bisa memengaruhi pertimbangan hukum oleh hakim secara signifikan.
Pada akhirnya, kualitas putusan Pengadilan Pajak dinilai bisa terpengaruh oleh upaya pengadilan untuk mempercepat penyelesaian kasus yang telah menumpuk. Selain itu, saat ini belum ada sistem pra-litigasi yang bisa mencegah terjadinya sengketa perpajakan yang tidak perlu.
Ganda dan Khisi lantas menyodorkan beberapa rekomendasi atas eskalasi penyelesaian sengketa di Tanah Air. Pertama, perubahan struktur kelembagaan dalam proses keberatan.
Kedua, pengakuan terhadap proses alternatif penyelesaian sengketa. Ketiga, menambah jenjang baru dalam sistem peradilan untuk menangani sengketa pajak.
Publikasi ini sangat berguna bagi praktisi, pelaku usaha, akademisi, serta bagi pembuat kebijakan di Indonesia. Informasi dan outlook di setiap negara ini akan memberikan panduan bagi para pembuat kebijakan sekaligus bagi wajib pajak dalam merespons segala perubahan. (sap)