BUKU PEMIKIRAN 100 EKONOM INDONESIA

Buku 100 Ekonom RI, Founder DDTC Ungkap 4 Langkah Revolusioner Pajak

Redaksi DDTCNews
Senin, 24 Maret 2025 | 12.45 WIB
Buku 100 Ekonom RI, Founder DDTC Ungkap 4 Langkah Revolusioner Pajak

JAKARTA, DDTCNews - Babak baru pemerintahan periode 2025-2029 perlu untuk dikawal. Periode pemerintahan ini menjadi penting sebagai landasan tercapainya Indonesia Emas 2045. 

Berbagai tantangan perlu diurai agar perekonomian nasional sanggup tumbuh dan bertahan di tengah dinamika global. Aspek fiskal dan kebijakan pajak menjadi satu hal yang menjadi sorotan. Karenanya, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengumpulkan 100 ekonom Indonesia untuk menyumbangkan buah pikirannya dalam mengurai beragam tantangan perekonomian nasional. 

Gagasan dan rekomendasi para pakar itu kemudian dituangkan dalam buku Pemikiran 100 Ekonom Indonesia: Estafet Kepemimpinan Baru Menuju Akselerasi Ekonomi. Founder DDTC Darussalam merupakan salah satu ekonom yang didapuk untuk menyumbangkan pemikirannya di bidang pajak. 

Dalam 'Pemikiran 100 Ekonom Indonesia', Darussalam menulis sebuah artikel berjudul Saatnya Eksekusi Empat Langkah Revolusioner Bidang Perpajakan. Buku tersebut bisa diakses publik melalui laman berikut ini.

Melalui tulisannya, Darussalam mencoba memetakan tantangan fundamental dalam pelaksanaan reformasi pajak serta 4 strategi yang perlu diadopsi oleh pemerintah untuk mengurai tantangan tersebut. 

Keempatnya adalah perbaikan struktur penerimaan pajak, perubahan pendekatan dalam pemajakan, evaluasi kebijakan dengan kacamata konsep pajak, dan redesain kelembagaan otoritas pajak. 

Bagaimana implementasi keempat strategi tersebut?

Wacana pendirian Badan Penerimaan Negara (BPN) menjadi paragraf pembuka dalam tulisan Darussalam. Pendirian BPN dan target untuk mengejar rasio penerimaan negara 23% menjadi isu krusial yang dilontarkan Presiden Prabowo Subianto, bahkan jauh sejak pemilu. 

Namun, kenyataannya tidak ada BPN dalam Kabinet Merah Putih besutan Prabowo-Gibran. Fakta ini memberi sinyal bahwa rezim pemerintahan yang baru ini belum memiliki langkah revolusioner untuk meningkatkan penerimaan negara yang realisasi terhadap produk domestik bruto (PDB) baru mencapai 13,3% (2023). 

Padahal, perlu dicatat bahwa urgensi untuk mengoptimalkan penerimaan negara makin mendesak di tengah bertambahnya jumlah kementerian/lembaga serta banyaknya rencana pembangunan atau program yang membutuhkan pendanaan. 

Belum optimalnya penerimaan negara, menurut Darussalam, tidak dapat dilepaskan dari permasalahan fundamental Indonesia selama ini, yakni masih relatif rendahnya kinerja tax ratio. Mengapa demikian? Kurang lebih 80% penerimaan negara berasal dari penerimaan perpajakan. Artinya, upaya untuk meningkatkan penerimaan perpajakan menjadi krusial. 

Berdasarkan pada data Kementerian Keuangan yang diolah oleh DDTC Fiscal Research & Advisory, nominal penerimaan pajak pada periode 2010-2023 sejatinya mencatatkan pertumbuhan hampir 3 kali lipat, dari Rp628,2 triliun (2010) menjadi Rp1.869,2 triliun (2023). Namun, kinerja tax ratio justru menyusut dari 11,3% (2010) menjadi 10,3% (2023). 

Beragam langkah solusi sebenarnya telah dijalankan pemerintah melalui reformasi perpajakan. Reformasi ini telah mencakup sumber daya manusia (SDM), proses bisnis, organisasi, regulasi, dan teknologi informasi berbasis data. Namun, tetap saja kinerja perpajakan masih belum optimal. 

Oleh karena itu, pemerintahan baru ini semestinya punya momentum yang kuat untuk merancang langkah revolusioner.

Perbaikan Struktur Penerimaan Pajak

Struktur penerimaan pajak Indonesia selama ini masih belum pas, baik ditinjau dari sisi sektor usahanya atau jenis pajak. Hal ini terlihat dari masih adanya beberapa sektor usaha yang berkontribusi cukup besar terhadap PDB, tetapi sumbangsihnya dalam penerimaan pajak sangat minim (undertaxed). 

Karenanya, optimalisasi pajak perlu dilakukan pada sektor-sektor usaha ini. Sektor pertanian, pertambangan, dan konstruksi perlu menjadi sasaran optimalisasi penerimaan pajak. 

Selain sektor usaha, tinjauan struktur penerimaan pajak juga perlu dilakukan terhadap jenis pajak. Sejauh ini, pajak penghasilan (PPh) masih selalu menjadi penyumbang terbesar, yakni sekitar 56,8% dari total penerimaan pajak. Pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) menyumbang 40,9%. Sisanya, ada pajak bumi dan bangunan (PBB) sebesar 1,8% dan pajak lainnya 0,5%. 

Perubahan Pendekatan dalam Pemajakan

Langkah revolusioner selanjutnya yang dapat dipertimbangkan adalah perubahan pendekatan dalam pemajakan. Perubahan seperti apa? Otoritas perlu menggeser pendekatan pemajakan dari enforced compliance menjadi cooperative compliance.

OECD (2021) menyatakan kepatuhan yang tidak dipaksakan berperan penting dalam upaya peningkatan penerimaan negara sebagai bahan bakar pembangunan berkelanjutan. 

Sebenarnya, digitalisasi serta transparansi informasi turut mendukung momentum penciptaan cooperative compliance. Dalam kontens Indonesia, pelaksanaan coretax system seharusnya tidak hanya berfokus pada penurunan cost of collection, tetapi juga dimanfaatkan untuk mengurangi cost of compliance (Kristiaji, 2024). 

Pada prinsipnya, kepatuhan kooperatif berdiri di atas 3 pilar dasar, yakni rasa saling percaya, transparansi, dan pengertian (Darussalam et al, 2019). 

Evaluasi Kebijakan dengan Kacamata Konsep Pajak

Pemerintahan Prabowo-Gibran perlu mengevaluasi seluruh kebijakan dengan kamacata konsep pajak. Pemerintah perlu memahami pajak secara konseptual, didasarkan pada prinsip-prinsip pajak yang baik (principles of good taxation).

Prinsip tersebut perlu menjadi fondasi kokoh dalam menyusun dan mengevaluasi setiap kebijakan (Darussalam, Septriadi, Marhani, 2024). 

Redesain Kelambagaan Otoritas Pajak

Siasat revolusioner terakhir berkaitan dengan kelembagaan otoritas pajak, sesuai dengan kalimat pembuka tulisan Darussalam. Rencana pembentukan BPN sejatinya bukan hal baru. Presiden sebelumnya, Joko Widodo (Jokowi) juga telah mewacanakan pembentukan BPN. Namun, rencana itu batal dieksekusi. 

Presiden Prabowo dinilai perlu mempertimbangkan ide pembentukan BPN dalam periode pemerintahan 5 tahun ke depan. Namun, kehadiran BPN perlu disesuaikan dengan ekosistem perpajakan secara umum, yang mencakup uraian peran, posisi, serta interaksi dari berbagai lembaga lainnya. 

Ada 4 hal yang perlu diperhatikan dalam membentuk BPN. Pertama, mekanisme kontrol wajib pajak dalam internal BPN. Kedua, pembentukan unit khusus berkaitan dengan kebijakan perpajakan. Ketiga, penguatan peran Komite Pengawas Perpajakan selaku tax ombudsman. Keempat, agenda reformasi penyelesaian sengketa perpajakan. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.