Ilustrasi IMF.
JAKARTA, DDTCNews – International Monetary Fund (IMF) mengingatkan maraknya praktik korupsi di suatu negara akan berdampak pada rendahnya setoran pajak. Topik tersebut menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Jumat (31/5/2019).
Dalam Fiscal Monitor, IMF telah menganalisis lebih dari 180 negara. Dari analisis tersebut, IMF menemukan negara-negara dengan tingkat korupsi tinggi cenderung memiliki tingkat kemampuan pengumpulan pajak yang lebih rendah.
“Pemerintahan yang tingkat korupsinya paling rendah dapat mengumpulkan penerimaan pajak sekitar 4% PDB [produk domestik bruto] lebih banyak dibandingkan negara dengan tingkat korupsi tertinggi, dalam level pembangunan ekonomi yang sama,” demikian pernyataan IMF.
Kurang optimalnya penerimaan pajak diakibatkan kecenderungan orang memakai upaya suap untuk menghindari pungutan, termasuk melalui celah pajak yang dirancang untuk mendapatkan imbalan. Selain itu, ketika pembayar pajak percaya pemerintah mereka korup, mereka cenderung menghindari pajak.
Selain itu, beberapa media nasional juga masih menyoroti kebijakan kenaikan batas harga jual rumah yang bebas pajak pertambahan nilai (PPN). Langkah yang diambil pemerintah dikhawatirkan tidak terlalu berdampak besar pada perekonomian. Pelaku usaha juga melihat pemerintah terlambat.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
IMF menegaskan korupsi yang tinggi akan berdampak pada penerimaan pajak yang lebih rendah. IMF memberikan beberapa saran untuk mengurai permasalahan sekaligus mencegah korupsi semakin marak dan merugikan keberlanjutan fiskal.
Pertama, investasi pada tingkat transparansi yang tinggi dan pengawasan internal yang independen. Hal ini dapat memungkinkan lembaga audit dan masyarakat luas untuk memberi pengawasan yang efektif. Kedua, keberadaan lembaga reformasi. Peluang keberhasilan lebih besar ketika negara merancang reformasi untuk mengatasi korupsi di semua sudut.
“Misalnya, reformasi administrasi perpajakan akan memiliki hasil yang lebih besar jika undang-undang perpajakan lebih sederhana dan mereka mengurangi ruang lingkup diskresi pejabat,” demikian pernyataan IMF.
Ketiga, pelayanan sipil profesional. Keempat, sejalan dengan perkembangan teknologi, fokus pada area yang berisiko tinggi – seperti pengadaan, administrasi, dan pengelolaan sumber daya alam. Kelima, perluasan kerja sama untuk memerangi korupsi.
Pengamat Properti Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda mengatakan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan No. 81/PMK.010/2019 cenderung terlambat karena dalam satu kuartal, pengembang ragu membangun tanpa patokan harga. Penggunaan patokan 2018 dikhawatirkan mengganggu cashflow saat patokan harga berbeda.
“Persoalannya sekarang seberapa jauh ketersediaan anggaran rumah bersubsidi yang disiapkan pemerintah tahun ini mampu memenuhi keseluruhan permintaan konsumen,” katanya.
Joyada Siallagan, Presiden Ikatan Kuasa Hukum dan Advokat Pajak Indonesia (Ikhapi) Joyada Siallagan mengatakan perlunya peningkatan kapasitas advokat pajak yang sering menangani perkara di sektor pertambangan. Hal ini dikarenakan peraturan mengenai perpajakan di sektor tersebut sangat banyak. Regulasi ini tersebar di instansi teknis pertambangan maupun Ditjen Pajak (DJP).
Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) memodernisasi pengawasan lintas batas dengan mengguanakan virtual account. Virtual account, seperti yang disebutkan dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 80/PMK.04/2019, merupakan akses yang diberikan kepada pelintas batas untuk dapat berhubungan dengan sistem komputer pelayanan (SKP) melalui verifikasi biometri terhadap bagian tubuh tertentu pelintas batas, seperti wajah, mata, atau sidik jari.
Sementara itu, beberapa pelaku usaha dan pengamat mengkhawatirkan kebijakan ini akan cenderung tidak berdampak besar pada perekonomian. Pada saat yang bersamaan, ada risiko dari sisi penerimaan negara.
Tingkat inflasi pada saat Ramadan tahun ini diproyeksi berada di bawah rata-rata musiman dalam 3 tahun terakhir. Konsensus ekonom memperkirakan inflasi Ramadan pada Mei 2019 berada di kisaran rata-rata 0,53% dengan nilai tengah 0,54%. Proyeksi ini lebih rendah dari rata-rata inflasi Ramadan dalam tiga tahun terakhir sebesar 0,68%. (kaw)