LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2025

Paradoks TKDN dan Insentif Pajak: dari Hambatan ke Stimulus Investasi

Redaksi DDTCNews
Rabu, 29 Oktober 2025 | 16.45 WIB
Paradoks TKDN dan Insentif Pajak: dari Hambatan ke Stimulus Investasi
Rheza Auliya Rahman,
Kota Tangeran, Banten

IBARAT undangan pesta, ada syarat rumit yang perlu dipenuhi jika berkenan hadir.

“Kalau mau masuk gedung, separuh porsi nasi dan lauk bawa dari rumah. Separuhnya lagi boleh ambil di sini."

Alih-alih bikin ramai, aturan itu justru bikin banyak tamu malas datang. Pesta pun sepi. Kira-kira seperti itulah potret kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).

Niat awalnya mulia: ingin mendukung produk lokal. Namun, di sisi lain justru membuat perusahaan global enggan hadir. Padahal ada cara lain yang lebih ramah: kasih diskon tiket masuk atau hadiah menarik bagi yang mau meramaikan pesta.

Dalam bahasa ekonomi, itu sama saja dengan insentif fiskal —membuka pintu, bukan mempersulit masuk.

Persoalan ini makin relevan jika kita kaitkan dengan target besar pemerintah. Indonesia menargetkan pertumbuhan ekonomi mencapai 5,4% pada 2026. Angka ini lebih tinggi dari target pertumbuhan ekonomi pada 2025, yaitu sebesar 5,2%. Optimisme ini tentu patut diapresiasi, tetapi pencapaiannya tidak semudah membalik telapak tangan.

Salah satu mesin penggerak utama pertumbuhan adalah investasi, yang punya efek berganda terhadap perekonomian. Masalahnya, investasi di Indonesia masih menghadapi tantangan efisiensi.

Tantangan tersebut bisa dilihat dari Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang tercatat di skor 6 (DDTCNews, 2024). Angka ini berarti untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi 1%, dibutuhkan investasi sebesar 6% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Jika target 5,4% benar-benar ingin dicapai pada 2026, investasi yang dibutuhkan perlu mencapai 32,4% dari PDB atau senilai Rp7.173 triliun.

Angka yang besar, tapi bukan tidak mungkin.

Persoalannya, dari sisi pembiayaan, Indonesia menghadapi keterbatasan. Menurut Basri (2024), rasio tabungan domestik terhadap PDB pada periode 2016–2022 hanya sekitar 37%. Terdapat saving investment gap sebesar 4,6%.

Artinya, untuk menutup kekurangan, pemerintah perlu mencari cara lain. Salah satunya lewat peningkatan penerimaan pajak. Namun di saat yang sama, pemerintah sudah menegaskan bahwa pada 2026 pemerintah tidak berencana menambah jenis pajak baru ataupun menaikkan tarif pajak.

Kondisi ini menempatkan kita pada dilema: bagaimana menjaga penerimaan negara tetap sehat, sembari menarik investasi baru yang dibutuhkan untuk mengejar target pertumbuhan?

Salah satu jawabannya adalah dengan menurunkan nilai ICOR. Nah, di sinilah perdebatan soal kebijakan TKDN menjadi relevan.

Deregulasi TKDN menjadi Insentif Perpajakan

Indonesia telah mencapai sebuah persimpangan. Pemerintah dituntut menjaga penerimaan negara tetap sehat, tetapi juga mendorong investasi demi mencapai pertumbuhan ekonomi 5,4%.

Untuk mengurai dilema ini, salah satu solusi adalah menurunkan nilai ICOR. Karenanya, kebijakan TKDN perlu dievaluasi.

Di lapangan, TKDN kerap menjadi 'pagar tinggi' yang menghambat investasi. Kasus Apple bisa menjadi ilustrasi paling jelas. Pada 2025, Apple sempat tidak dapat menjual produk iPhone 16 di Indonesia karena tidak memenuhi syarat TKDN minimal 40%.

Pemerintah bahkan menolak tawaran investasi awal senilai US$100 juta karena dianggap belum memenuhi komitmen konten lokal (Reuters, 2025).

Akibatnya, penjualan iPhone 16 resmi tertunda berbulan-bulan. Baru setelah proses negosiasi panjang dan tambahan komitmen berupa pembangunan fasilitas R&D serta developer academy, sertifikat TKDN diterbitkan kembali sehingga produk Apple bisa kembali masuk pasar Indonesia (Bestari, 2025).

Masalah yang dialami Apple bukan kasus tunggal. Studi Irawan (2024) menunjukkan bahwa kebijakan TKDN sering menimbulkan ketidakpastian, baik terkait kriteria maupun proses administrasi yang berbelit. Kondisi ini membuat investor asing cenderung menunda atau bahkan membatalkan rencana investasinya. Lebih jauh lagi, mekanisme TKDN juga membuka ruang praktik rent seeking, yang pada akhirnya menciptakan distorsi dalam perekonomian.

Di titik inilah pemerintah perlu mengubah pendekatan. Alih-alih menjadikan TKDN sebagai instrumen penghalang, kebijakan ini dapat diubah menjadi instrumen insentif fiskal. Misalnya, perusahaan yang benar-benar berkomitmen menggunakan konten lokal baik melalui kemitraan dengan UMKM, pembangunan pusat R&D, maupun alih teknologi diberikan fasilitas berupa super tax deduction, tax allowance, atau bentuk insentif lainnya.

Skema seperti ini mungkin terlihat mengurangi penerimaan pajak di awal, tetapi efek pengganda yang tercipta dari masuknya investasi justru akan menumbuhkan basis pajak baru di sektor lain. Studi Hariadi et al. (2025) juga menegaskan bahwa insentif pajak yang dirancang sebagai sweetener terbukti efektif meningkatkan minat investasi.

Jika di awal pesta kita dibuat sepi karena aturan yang terlalu rumit, maka solusi insentif fiskal ibarat mengubah strategi tuan rumah: bukan lagi memaksa tamu membawa makanan setengah porsi dari rumah, melainkan memberi hadiah dan potongan tiket bagi yang mau ikut meramaikan.

Hasilnya, pesta jadi ramai, tuan rumah tetap untung, dan hidangan lokal tetap tersaji di meja utama.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.