Dian Anggraeni,
KONTESTASI politik yang akan mencapai puncak perhelatan pada Februari 2024 telah terasa ingar bingarnya sejak beberapa waktu terakhir. Para kontestan yang memperebutkan kursi RI-1 berlomba-lomba mengambil hati rakyat dengan mengusung beragam program andalannya.
Pajak sebagai sumber terbesar pendapatan negara seharusnya mendapat porsi perhatian yang besar dalam rencana program para kontestan. Ironisnya, selama ini, pajak hampir tidak pernah menjadi fokus program bagi para pasangan calon presiden (capres).
Kampanye program lebih berbau politis ketimbang realistis. Kalaupun ada, biasanya tidak pernah menyentuh secara teknis cara mengatasi pekerjaan rumah (PR) besar perpajakan di Indonesia, yaitu peningkatan tax ratio. Tax ratio Indonesia berada pada level lower income countries (Sunarsip, 2014).
Untungnya, pemerintahan terakhir memberikan dukungan yang cukup besar terhadap jalannya reformasi birokrasi di Direktorat Jenderal Pajak. Harapannya, reformasi perpajakan secara menyeluruh akan mampu mendongkrak nilai tax ratio.
Salah satu buah reformasi perpajakan jilid ke-3 adalah lahirnya regulasi perpajakan yang lebih berkeadilan. Melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang terbit pada Oktober 2021, pemerintah meletakkan fondasi kuat bagi tegaknya keadilan dalam pemugutan pajak.
Beberapa contoh regulasi yang bernafaskan semangat penegakan keadilan adalah perluasan lapisan penghasilan yang dikenakan tarif terendah PPh orang pribadi. Dahulu, lapisan tarif terendah (5%) berlaku untuk penghasilan kena pajak sampai dengan Rp50 juta dalam setahun. UU HPP menaikkan batasan lapisan penghasilan kena pajak dengan tarif terendah menjadi Rp60 juta.
Contoh lain adalah pembebasan pengenaan PPh final atas wajib pajak orang pribadi yang menjalankan usaha dengan omzet tidak lebih dari Rp500 juta dalam setahun. Kedua pengaturan tersebut jelas menunjukkan keberpihakan aturan perpajakan kepada orang-orang yang berpenghasilan menengah ke bawah.
Hal tersebut juga sesuai dengan fungsi pajak dalam pelaksanaan redistribusi pendapatan (Soemitro, 1994). Hasil pajak mengalir dari orang-orang yang berpendapatan lebih tinggi ke orang-orang yang berpendapatan lebih rendah.
Namun, sayangnya, penegakan keadilan pemungutan pajak masih lebih bersifat vertikal. Keadilan horizontal yang lebih menunjukkan kesetaraan antara sumber-sumber penerima penghasilan masih kurang diperhatikan.
Sistem perpajakan di Indonesia tidak mengenal pembedaan perlakuan pajak berdasarkan pada gender penerima penghasilan. Tidak ada pembedaan tarif, penghasilan tidak kena pajak (PTKP), atau cara perhitungannya.
Padahal, kesetaraan gender merupakan salah satu aspek penting dalam mencapai pertumbuhan ekonomi (World Bank, 2012). Kesetaraan tidak diartikan sebagai kesamarataan. Namun, kesetaraan merupakan penekanan kepada persamaan hak, tanggung jawab, dan kesempatan.
Beberapa hasil penelitian telah mencapai konsensus mengenai fakta bahwa terdapat dampak positif dari kesetaraan gender terhadap pertumbuhan ekonomi (Cuberes and Teignier, 2016). Dengan meningkatkan partisipasi perempuan dalam lapangan pekerjaan, penghasilan perempuan akan meningkat.
Situasi itu tentu saja juga akan berpengaruh terhadap pendapatan rumah tangga. Adapun negara yang memiliki jumlah perempuan bekerja lebih banyak mempunyai tingkat kemiskinan yang lebih rendah (Nieuwenhuis (2017).
Di Indonesia, indeks kesetaraan gender dalam kurun waktu 2015 sampai dengan 2018 menunjukkan kecenderungan yang terus menurun, yakni 0,466 pada 2015 dan 0,436 pada 2018.
Sementara itu, Bappenas, Badan Pusat Statistik, dan United Nations Fund for Population Activities Indonesia (UNFPA) memprediksi bonus demografi Indonesia pada 2035 ditandai dengan peningkatan jumlah usia produktif dari 66,5% menjadi 67,9%.
Pencapaian bonus demografi yang tidak didukung dengan perbaikan indeks kesetaraan gender tentu akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Adapun salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk memperbaiki indeks keseteraan gender adalah kebijakan pajak.
Kebijakan pajak di Indonesia selama ini memperlakukan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomi, yakni suami sebagai kepala keluarga menjadi subjek utamanya. Suami yang diberikan kewajiban melakukan pelaporan pajak setiap tahunnya dengan memasukkan penghasilan istri dalam SPT Tahunan (joint-filing).
Mekanisme tersebut dapat mengakibatkan pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi secara implisit atas penghasilan istri (dalam hal istri mendapatkan penghasilan tidak hanya dari satu pemberi kerja). Beban pajak yang lebih tinggi dapat memengaruhi pengambilan keputusan perempuan untuk ambil bagian dalam lapangan pekerjaan. Situasi ini mengingat secara sosial, perempuan juga dibebani dengan tanggung jawab mengurus anak dan rumah tangga.
UU HPP juga mengatur bahwa Nomor Induk Kependudukan (NIK) kini berfungsi sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi para penduduk yang memiliki NIK. Oleh karena itu, wacana pengenaan pajak secara individu (bukan secara keluarga) perlu dipertimbangkan. Secara administratif, kebijakan ini telah memisahkan dengan tegas subjek pajak suami dan istri. Hal ini dikarenakan keduanya tentu memiliki NIK masing-masing.
Kebijakan pajak berbasis gender juga sudah dilakukan di banyak negara. Janet G. Stotsky, dalam jurnalnya pada 1997 menjelaskan beberapa praktik kebijakan pajak berbasis gender di banyak negara. Sejak 1991, Malaysia mengubah pengenaan pajak suami-istri menjadi pengenaan secara terpisah. Sejak 1984, Belanda mengubah pemberian insentif pajak yang tadinya diberikan lebih besar kepada laki-laki menikah daripada perempuan menikah, menjadi sama untuk keduanya.
Implementasi NIK menjadi NPWP menjadi kebijakan besar yang sejalan dengan konsep kebijakan berbasis gender. Kebijakan nasional ini dapat menjadi pintu masuk penerapan kebijakan pajak berbasis gender. Ragam pengenaan dan insentif pajak berbasis gender dapat dilaksanakan berdasarkan pada kajian-kajian yang relevan.
Pemilihan pemimpin negara merupakan momentum yang baik untuk menyesuaikan kebijakan pajak yang berkeadilan secara horizontal. Perempuan jangan dijadikan sebagai target elektoral saja, tetapi harus diperjuangkan kepentingannya. Apalagi, ada dampak sangat besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Ekonomi yang tumbuh memiliki daya ungkit yang tinggi terhadap peningkatan tax ratio.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.