JAKARTA, DDTCNews – Implementasi global minimum tax (GMT) bisa menjadi ‘pagar’ agar perusahaan multinasional (PMN) tidak melakukan aggressive tax planning dengan memanfaatkan celah-celah ketentuan pajak internasional.
Senior Specialist DDTC Fiscal Research and Advisory (FRA) Hamida Amri Safarina menjelaskan ketentuan GMT didesain untuk mengatasi masalah profit shifting dan kompetisi penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) badan di berbagai negara. Hal ini dilakukan dengan mengenakan pajak tambahan apabila tarif efektif yang ditanggung PMN pada suatu yurisdiksi di bawah 15%.
“Secara ringkas, GMT adalah suatu pengenaan pajak tambahan terhadap grup PMN yang tarif pajak efektifnya kurang dari 15% pada suatu yurisdiksi,” jelas Hamida dalam live Instagram bersama Tax Center Universitas Mataram, Kamis (4/9/2025).
Berbeda dengan ketentuan pajak internasional, sambung Hamida, implementasi GMT bersifat common approach (tidak wajib). Kendati tidak wajib, apabila suatu negara tidak turut menerapkan ketentuan GMT maka negara tersebut bisa kehilangan potensi pengenaan pajak tambahan.
Untuk itu, Indonesia pun telah mengadopsi ketentuan GMT dalam peraturan domestiknya melalui PMK 136/2024. Akan tetapi, Hamida menekankan implementasi ketentuan GMT tidaklah mudah karena meliputi rangkaian tahapan yang kompleks dengan beragam jargon-jargon rumit.
Tahapan tersebut di antaranya adalah penentuan masuk atau tidaknya PMN dalam ruang lingkup GMT; penentuan GloBE Income; penentuan adjusted covered taxes; penghitungan effective tax rate (ETR) sekaligus menghitung substance based income exclusion (SBIE); analisis implementasi safe harbour; menghitung pajak tambahan dan alokasi hak pemajakannya; dan mengelola aspek administrasi. Kemudian, setiap tahapan tersebut masih terdiri atas beberapa langkah lanjutan.
Dari rangkaian tahapan tersebut, Hamida menyoroti 2 tahapan yang paling sulit untuk diimplementasikan. Kedua tahapan tersebut, yaitu penentuan laba/rugi GloBe dan penentuan adjusted covered taxes. Hal ini lantaran kedua tahapan tersebut melibatkan berbagai penyesuaian.
“Ada semacam koreksi fiskal, tapi ini berbeda dengan koreksi fiskal PPh badan yang biasa kita lakukan. Jadi, secara sederhana ada koreksi fiskal khusus GMT,” ujar Hamida.
Hamida juga memaparkan 4 hal yang perlu dipersiapkan oleh PMN yang tercakup dalam pengenaan GMT. Pertama, PMN harus mencoba memelajari PMK 136/2024. Kedua, anak perusahaan atau bentuk usaha tetap (BUT) dari suatu PMN di Indonesia perlu melakukan diskusi dan konsolidasi dengan perusahaan induk.
Ketiga, PMN harus mulai menyiapkan data-data yang valid dan tepat untuk penghitungan peredaran bruto konsolidasi grup PMN, laba/rugi GloBE, dan adjusted covered tax. Keempat, PMN harus menyiapkan diri untuk memenuhi kewajiban administrasi GMT.
Dalam kesempatan tersebut, Hamida lantas menjabarkan 3 format surat pemberitahuan (SPT) GMT. Ketiga format SPT tersebut meliputi SPT Tahunan PPh GloBE, SPT Tahunan PPh domestic minimum top-up tax (DMTT), dan SPT Tahunan PPh undertaxed payment rule (UTPR).
Penggunaan SPT tersebut tergantung peran dari entitas konstituen atau perusahaan induk. Namun, Hamida menyebut format untuk ketiga SPT ini masih menunggu ketentuan lebih lanjut.
Selain ketiga jenis SPT tersebut, ada pula kewajiban penyampaian GloBE Information Return (GIR).
“GMT ini sifatnya juga self assessment. Jadi, PMN harus menghitung dan melaporkan SPT sendiri. Ketika sudah disubmit, DJP juga punya kesempatan untuk melakukan pengawasan atas kebenaran pengisian SPT terkait dengan GMT,” pungkas Hamida. (dik)