ANALISIS PAJAK

Implementasi ‘Two-Pillar Solution’ Kian Dekat, Siapkah Kita?

Redaksi DDTCNews
Selasa, 20 Februari 2024 | 11.50 WIB
ddtc-loaderImplementasi ‘Two-Pillar Solution’ Kian Dekat, Siapkah Kita?
DDTC Fiscal Research & Advisory.

PERSOALAN pemajakan ekonomi digital dan penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional telah menjadi diskursus internasional dalam beberapa tahun terakhir.  

Setelah lama terkatung-katung, OECD/G-20 Inclusive Framework on BEPS (BEPS IF) akhirnya menyepakati suatu perubahan sistem pajak internasional yang bersifat revolusioner melalui Solusi Dua Pilar (Two-Pillar Solution) pada Oktober 2021.

Two-Pillar Solution terdiri atas Pilar 1 dan Pilar 2 yang selama periode 2022-2023 terus disempurnakan. Sebagai gambaran awal, Pilar 1 yang bertujuan untuk meredistribusi hak pemajakan yang lebih adil bagi negara-negara pasar. Pilar 1 terdiri atas Amount A dan Amount B.

Sementara Pilar 2, yang mencakup Global Anti Base Erotion (GloBE) dan Subject to Tax Rule (STTR), akan menjadi solusi untuk mengurangi kompetisi pajak sekaligus melindungi basis pajak melalui penerapan tarif minimum PPh badan secara global.

Two-Pillar Solution akan memberikan stabilitas dalam sistem pajak internasional. Penerapan kebijakan tersebut juga mendorong pemajakan yang lebih adil atas perkembangan ekonomi lintas batas negara yang kian terdigitalisasi (OECD, 2023).

Selain itu, penerapan Two-Pillar Solution turut berimplikasi pada meningkatnya potensi penerimaan pajak di berbagai negara. Pada 18 Januari 2023, OECD merilis penilaian dampak ekonomi atas penerapan Two-Pillar Solution yang dihitung dengan menggunakan data 2021.

Dalam penilaian itu, Pilar 1 ditaksir memberikan tambahan penerimaan senilai US$ 13 miliar hingga US$ 36 miliar per tahun. Adapun total penghasilan korporasi multinasional yang direalokasikan kepada yurisdiksi pasar berdasarkan pada Pilar 1 mencapai US$ 200 miliar per tahun.

Sementara itu, untuk Pilar 2, OECD memperkirakan dampaknya pada penambahan penerimaan pajak akan mencapai US$ 220 miliar. Jumlah tersebut setara dengan 9% total penerimaan PPh badan secara global pada saat ini.

Namun, realisasi ‘iming-iming’ tambahan penerimaan pajak tersebut sangat bergantung pada sejauh mana Two-Pillar Solution dapat berjalan secara optimal. Lantas, bagaimanakah tantangan dalam menerapkan Two-Pillar Solution? Kemudian, bagaimana implikasinya bagi wajib pajak?

Prospek

PADA dasarnya, rumusan Two-Pillar Solution tertuang dalam beberapa dokumen, seperti Multilateral Convention (MLC) Pilar 1 Amount A beserta Explanatory Statement-nya, Public Consultative Pillar 1 Amount B, GloBE Model Rules, dan lain sebagainya.

Apabila dipelajari, berbagai dokumen Two-Pillar Solution setebal ribuan halaman tersebut memiliki tujuan mulia, yaitu mendorong stabilitas pajak dan mewujudkan pemajakan yang adil. Meskipun demikian, terdapat konsekuensi lain yang timbul dari rumusan Pilar 1 dan Pilar 2.

Pertama, banyaknya prosedur yang bersifat teknis dan administratif dalam penerapan Two-Pillar Solution sehingga menciptakan kompleksitas. Adapun kompleksitas tersebut juga telah diafirmasi oleh Harmen van Dam (2021) dan Rupal Maheshwari (2023).

Berbagai informasi teknis dalam dokumen-dokumen Pilar 1 dan Pilar 2 menyulitkan akademisi, praktisi, atau yurisdiksi untuk memahami dan menginterpretasikan muatan yang terkandung di dalamnya.

Salah satu contoh kompleksitasnya dapat ditemukan dalam desain kebijakan Pilar 1 Amount B (van Dam, 2021). Pada dasarnya, Pilar 1 Amount B bertujuan untuk memberikan simplifikasi administrasi dan mengurangi biaya kepatuhan wajib pajak dalam implementasi ketentuan transfer pricing.

Sayangnya, simplifikasi itu belum tentu tercapai. Sebab, wajib pajak perlu melakukan serangkaian tahapan seperti analisis fungsi, aset, dan risiko untuk penentuan masuk atau tidaknya perusahaan dalam lingkup marketing and distribution activities yang bersifat rutin.

Selain itu, wajib pajak juga perlu melakukan pengujian secara kuantitatif dan/atau kualitatif. Satu hal yang pasti, fitur dalam Amount B sedikit banyak mirip dengan skema safe harbour.

Kompleksitas tersebut juga tecermin dari desain kebijakan Pilar 2, yaitu dalam menentukan yurisdiksi yang berhak memperoleh top-up tax berdasarkan pada Qualified Domestic Minimum Top-Up Tax (QDMTT), Income Inclusion Rule (IIR), dan Under Taxed Payment Rule (UTPR). Untuk mengetahui hal tersebut saja terdapat 6 tahapan utama yang perlu dilakukan.

Tahapan yang dimaksud antara lain: (i) penentuan masuk atau tidaknya perusahaan multinasional dalam ruang lingkup (determine if MNEs are in scope); (ii) identifikasi lokasi setiap constituent entity dalam suatu grup dan alokasi pendapatannya (allocate income of constituent entities on a jurisdictional basis); (iii) penentuan GloBE Income; (iv) penentuan adjusted covered taxes; (v) penghitungan effective tax rate (ETR); dan (vi) penentuan top-up tax. Kemudian, dalam setiap tahapan tersebut masih terdiri atas beberapa langkah lanjutan yang perlu dilaksanakan.

Kedua, tantangan juga timbul terkait dengan ketersediaan data dalam jumlah besar dan lengkap (Asch, 2023). Keberhasilan penerapan Two-Pillar Solution sangat bergantung pada ketersediaan data dan informasi yang dapat diakses oleh berbagai negara secara berimbang.

Sebagai contoh, tata cara setiap pemerintah mengetahui perusahaan multinasional yang telah melewati threshold Pilar 1 (peredaran global lebih dari EUR20 miliar) dan threshold Pilar 2 (peredaran usaha bruto EUR750 juta). Saat ini, informasi mengenai nilai peredaran global suatu grup perusahaan tersebut masih sulit untuk diakses secara transparan.

Apabila akses terhadap data dan informasi dari setiap negara tidak sama, ada risiko perbedaan penerapan kebijakan Two-Pillar Solution. Oleh karena itu, penerapan Pilar 1 dan Pilar 2 membutuhkan koordinasi yang erat dari otoritas pajak antaryurisdiksi (Waerzeggers, 2023).

Ketiga, penerapan Two-Pillar Solution perlu mempertimbangkan timeline implementasinya yang makin dekat. Sebagai informasi, rencana penerapan Pilar 1 dan Pilar 2 berbeda.

Untuk Pilar 1 Amount A, negara-negara anggota kerangka kerja inklusif (Inclusive Framework) berkomitmen untuk mencapai solusi berbasis konsensus pada akhir Maret 2024. Penandatanganan direncanakan berjalan pada akhir Juni 2024 (OECD, 2023).

Menariknya, untuk Pilar 1 Amount B, OECD/G20 BEPS IF baru saja merilis laporannya per 19 Februari 2024. Adapun tindak lanjut atas laporan tersebut, setiap yurisdiksi dipersilakan untuk mengimplementasikan Amount B per 1 Januari 2025 atau setelahnya.

Sementara itu, penerapan Pilar 2 cenderung lebih cepat daripada Pilar 1. Pilar 2 rencananya akan mulai diterapkan pada 2024 dan 2025. Saat ini, setidaknya sudah lebih dari 50 negara dan yurisdiksi yang telah dan berkomitmen untuk menerapkannya.

Misalnya, negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa telah sepakat untuk mengimplementasikan ketentuan Pilar 2 pada 2024 (OECD, 2024). Beberapa negara di kawasan, seperti Malaysia, Korea Selatan, dan sebagainya juga sudah mulai menerapkan Pilar 2.

Beberapa ahli menyatakan penerapan Pilar 2 di suatu yurisdiksi tidak dapat terhindarkan sebagaimana halnya efek bola salju (snowball effect). Sebab, desain kebijakan Pilar 2 bersifat common approach. Apabila tidak menerapkan Pilar 2, suatu yurisdiksi harus ‘ikhlas’ merelakan hak pemajakan atas pajak tambahan (top-up tax) nya untuk diambil oleh yurisdiksi lain.

Implikasi Bagi Wajib Pajak di Indonesia

MERUJUK pada uraian di atas, pertanyaan lebih lanjut yang muncul ialah bagaimana Two-Pillar Solution berdampak bagi wajib pajak? Setidaknya terdapat 5 implikasi bagi wajib pajak sebagai berikut.

Pertama, penerapan Two-Pillar Solution menimbulkan pertanyaan tentang keselarasannya dengan hak-hak wajib pajak. Dalam hal ini, aspek subjek, objek, dan tarif yang baru tidak disusun berdasarkan pada asas keterwakilan dan melalui kesepakatan dengan masyarakat Indonesia (DPR), tetapi justru ditentukan oleh suatu kesepakatan global. Akibatnya, kehadiran Two-Pillar Solution mendistorsi proses demokrasi pembentukan kebijakan pajak di Indonesia.

Saat ini, dasar hukum penerapan Two-Pillar Solution di Indonesia hanyalah Pasal 53 dan Pasal 54 Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan (PP 55/2022) sebagaimana turunan dari Pasal 32A UU PPh s.t.d.t.d. UU HPP. Aturan pelaksanaanya akan dituangkan dalam peraturan menteri keuangan.

Kedua, implementasi Pilar 2 berpotensi mendorong suatu yurisdiksi untuk meninjau kembali fasilitas tax holiday maupun profit-based tax incentive lainnya (OECD, 2022). Sebab, penerapan tax holiday dan semacamnya akan menyebabkan tarif pajak efektif (effective tax rate/ETR) berada di bawah tarif minimum 15% (Oguttu, 2022).

Ketika ETR rendah maka suatu negara atau yurisdiksi tidak akan memperoleh hak pemajakan atas penghasilan suatu perusahaan multinasional dengan optimal. Pilar 2 turut dapat memberikan ketidakpastian bagi perusahaan yang telah memeroleh fasilitas pajak.

Ketiga, perubahan lanskap yang timbul akibat Two-Pillar Solution dapat menimbulkan risiko sengketa bagi wajib pajak (Chand et.al, 2022). Adapun penerapan Two-Pillar Solution akan menambah daftar panjang aspek-aspek perubahan sistem pajak Indonesia yang saat ini pun masih dinamis akibat berlakunya UU Cipta Kerja, UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, dan sebagainya.

Keempat, implementasi Pilar 1 dan Pilar 2 di Indonesia nantinya akan menambah kewajiban perpajakan perusahaan multinasional. Pelaksanaan kewajiban pajak terkait Pilar 1 dan Pilar 2 yang dimaksud tentunya menimbulkan biaya kepatuhan (compliance cost) yang signifikan (Noonan dan Plekhanova, 2022). Hal inilah yang perlu diantisipasi dengan tepat dan terencana.

Kelima, Two-Pillar Solution akan mendorong perusahaan multinasional untuk mengkaji kembali seluruh transaksi, skema, arrangement, dan struktur usaha mereka. Tujuannya untuk mencegah risiko pajak, mengantisipasi kewajiban pajak yang akan timbul, serta mempersiapkan tata kelola pajak yang selaras dengan penerapan Two-Pillar Solution.

Pada akhirnya, berdasarkan pada uraian di atas, tidak salah jika Two-Pillar Solution dianggap sebagai game changer dan langkah revolusioner yang akan mengubah tatanan pajak internasional yang sekaligus berdampak bagi lanskap pajak Tanah Air.

Perubahan tersebut bagi banyak akademisi dan praktisi pada dasarnya merupakan agenda untuk menciptakan sistem pajak yang lebih adil. Namun, upaya menciptakan sistem pajak yang lebih adil tersebut ternyata harus ditukar dengan berbagai kompleksitas baru beserta implikasinya. Jadi, sudah siapkah kita?

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.