Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menetapkan daftar bentuk dan instrumen investasi penempatan dividen atau penghasilan lain agar dapat dikecualikan dari objek pajak penghasilan (PPh). Hal tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Selasa (2/3/2021).
Melalui PMK 18/2021, otoritas memerinci daftar bentuk dan instrumen investasi penempatan dividen atau penghasilan lain yang bisa dikecualikan dari objek PPh. Instrumen investasi tersebut baik di dalam maupun di luar pasar keuangan. Simak pula ‘Sri Mulyani Resmi Rilis Aturan Pelaksana Bidang Pajak UU Cipta Kerja’.
Sesuai dengan ketentuan pada Pasal 36 PMK tersebut, investasi dilakukan paling lambat akhir bulan ketiga (untuk wajib pajak orang pribadi) dan akhir bulan keempat (untuk wajib pajak badan) setelah tahun pajak diterima atau diperolehnya dividen/penghasilan lain berakhir.
“Investasi … dilakukan paling singkat selama 3 tahun pajak terhitung sejak tahun pajak dividen atau penghasilan lain diterima atau diperoleh. Investasi … tidak dapat dialihkan, kecuali ke dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35,” bunyi penggalan Pasal 36 ayat (2) dan (3).
Sebagai informasi kembali, syarat investasi agar bisa dikecualikan dari objek PPh berlaku untuk 4 jenis dividen atau penghasilan lain. Pertama, dividen yang berasal dari dalam negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri.
Kedua, dividen yang berasal dari luar negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri. Ketiga, penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap (BUT) di luar negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri. Keempat, penghasilan dari luar negeri tidak melalui BUT yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri.
Selain mengenai ketentuan investasi dividen atau penghasilan lain, ada pula bahasan terkait dengan pemberian insentif pajak untuk sektor otomotif melalui penerbitan PMK 20/2021 dan untuk sektor properti lewat PMK 21/2021.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Sesuai dengan ketentuan pada PMK 18/2021, kriteria bentuk investasi agar dividen atau penghasilan lain dikecualikan dari objek PPh antara lain:
Investasi huruf a sampai dengan huruf e dan huruf l ditempatkan pada instrumen investasi di pasar keuangan:
Sementara itu, investasi huruf f sampai dengan huruf k ditempatkan pada instrumen investasi di luar pasar keuangan:
Melalui PMK 20/2021, pemerintah menetapkan 2 jenis kendaraan bermotor yang bisa mendapat insentif pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) ditanggung pemerintah (DTP). Pertama, kendaraan bermotor sedan atau station wagon dengan kapasitas isi silinder hingga 1.500 cc.
Kedua, kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 orang termasuk pengemudi selain sedan atau station wagon dengan sistem 1 gardan penggerak (4x2) dan berkapasitas isi silinder sampai dengan 1.500 cc.
PPnBM DTP diberikan dalam 3 tahap. Pertama, 100% dari PPnBM terutang untuk masa pajak Maret 2021 sampai Mei 2021. Kedua, 50% dari PPnBM terutang untuk masa pajak Juni 2021 sampai Agustus 2021. Ketiga, 25% dari PPnBM terutang untuk masa pajak September 2021 sampai Desember 2021. Simak pula ‘Sri Mulyani: Kalau Mau Beli Mobil, Sebaiknya Sekarang Sampai Mei’. (DDTCNews/Kontan/Bisnis Indonesia)
Melalui PMK 21/2021, pemerintah memberikan insentif pajak pertambahan nilai (PPN) DTP 100% atas penyerahan rumah tapak atau rusun baru dengan harga jual paling tinggi Rp2 miliar. Kemudian, PPN DTP 50% untuk penyerahan rumah tapak dan rusun dengan harga jual di atas Rp2 miliar hingga Rp5 miliar.
Insentif PPN DTP berlaku selama 6 bulan, yakni mulai Maret hingga Agustus 2021. Insentif tersebut berlaku maksimal 1 unit rumah tapak atau rusun untuk 1 orang dan tidak boleh dijual kembali dalam jangka waktu 1 tahun.
Namun, insentif PPN DTP itu hanya berlaku atas penyerahan rumah rumah secara fisik sepanjang periode Maret hingga Agustus 2021. “Ini artinya untuk rumah yang sudah ada stok,” kata Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono. Simak ‘PPN DTP Hanya untuk Rumah yang Diserahkan pada Maret-Agustus 2021’. (DDTCNews/Kontan/Bisnis Indonesia)
Tahun lalu, wajib pajak orang pribadi karyawan yang telah menyampaikan SPT mencapai 12,1 juta wajib pajak atau 85,42% dari total wajib pajak orang pribadi karyawan yang wajib menyampaikan SPT sebanyak 14,17 juta wajib pajak. Persentase tersebut lebih tinggi ketimbang kinerja pada 2019 sebesar 73,2%.
Sementara itu, kepatuhan formal wajib pajak badan dan wajib pajak orang pribadi nonkaryawan tahun lalu justru menurun. Rasio kepatuhan formal wajib pajak badan tahun lalu hanya 60,17% lebih rendah dari kinerja pada 2019 sebesar 65,28%.
Untuk wajib pajak orang pribadi nonkaryawan, rasio kepatuhan formalnya pada tahun lalu mencapai 52,45% atau lebih rendah dari performa pada 2019 sebesar 75,31%. Dengan demikian, kepatuhan formal wajib pajak orang pribadi karyawan satu-satunya yang mengalami kenaikan. Simak ‘Kepatuhan Formal Wajib Pajak Badan dan OP Nonkaryawan Menurun’. (DDTCNews/Bisnis Indonesia)
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatur kriteria belum dilakukannya penyerahan barang kena pajak (BKP) dan/atau jasa kena pajak (JKP). Kriteria ini untuk menentukan pengusaha kena pajak (PKP) tetap bisa mengkreditkan pajak masukannya.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (2a) UU PPN yang telah diubah dengan UU Cipta Kerja, bagi PKP yang belum melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP ataupun ekspor BKP dan/atau JKP, pajak masukannya tetap dapat dikreditkan sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan dalam UU ini. Simak selengkapnya pada artikel ‘Kriteria Belum Lakukan Penyerahan yang Bikin PKP Bisa Kreditkan Pajak’. (DDTCNews) (kaw)