Tampilan cover edisi perdana majalah Inside Tax pada September 2007.
JAKARTA, DDTCNews – Melalui Bab VII Pasal 32-47 PP 55/2022, pemerintah mulai mengatur lebih lanjut ketentuan instrumen pencegahan penghindaran pajak yang telah dimuat dalam Pasal 18 UU PPh s.t.d.t.d UU HPP.
Dalam PP 55/2022 tersebut, pemerintah mengatur mekanisme yang bisa digunakan untuk mencegah penghindaran pajak. Dalam best practice internasional, beragam mekanisme tersebut sering dikenal sebagai instrumen spesifik atau specific anti-avoidance rule (SAAR).
Selain itu, ada kewenangan penggunaan prinsip pengakuan substansi ekonomi di atas bentuk formalnya (substance over form) jika pencegahan tidak dapat dilakukan dengan instrumen spesifik. Simak ‘Cegah Penghindaran Pajak, DJP Bisa Terapkan Substance Over Form’.
Ulasan mengenai beragam instrumen antipenghindaran pajak tersebut sejatinya sudah sering diulas, bahkan dipublikasikan, oleh para profesional DDTC. Salah satunya adalah edisi perdana majalah Inside Tax pada September 2007.
Melalui publikasi tersebut, DDTC telah melihat adanya potensi peningkatan cara-cara penghindaran pajak internasional yang dilakukan perusahaan multinasional. Potensi itu telah diamati seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan transaksi internasional.
Skema penghindaran pajak di banyak negara dibedakan menjadi 2, yakni penghindaran pajak yang diperkenankan (acceptable tax avoidance) dan penghindaran pajak yang tidak diperkenankan (unacceptable tax avoidance).
Pengelompokan skema diperkenankan dan skema tidak diperkenankan sering kali berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Oleh karena itulah, istilah tax avoidance (penghindaran pajak) lebih kompleks dibandingkan dengan tax evasion (penyelundupan pajak).
Istilah tax avoidance biasanya diartikan sebagai suatu skema transaksi yang ditujukan untuk meminimalkan beban pajak melalui pemanfaatan kelemahan (loophole) ketentuan pajak suatu negara. Artinya, skema ini sah (legal) karena tidak melanggar ketentuan yang ada.
Sementara tax evasion diartikan sebagai suatu skema untuk memperkecil pajak terutang dengan cara melanggar ketentuan (illegal), seperti tidak melaporkan seluruh penjualan atau memperbesar biaya dengan cara fiktif.
Meskipun skema tax avoidance tidak melanggar ketentuan, negara berkepentingan mengatasi transaksi yang tujuannya semata-mata untuk penghindaran pajak (tidak ada tujuan bisnis) dengan cara memanfaatkan loophole ketentuan.
Dalam konteks perpajakan internasional, seperti diulas dalam Inside Tax edisi perdana, ada beberapa skema yang biasa dilakukan perusahaan multinasional untuk menghindari pajak. Skema itu seperti transfer pricing, thin capitalization, treaty shopping, dan controlled foreign corporation (CFC).
Berbagai skema penghindaran pajak itu biasanya ditangani dengan ketentuan pencegahan penghindaran pajak yang bersifat khusus/spesifik dalam undang-undang domestiknya. Selain itu, banyak negara juga mempunyai instrumen pencegahan yang bersifat umum.
Munculnya instrumen yang bersifat umum tersebut didorong makin kompleksnya skema penghindaran pajak. Alhasil, ketentuan antipenghindaran pajak yang ada sering kali belum mampu menangkal skema tersebut. Praktik unacceptable tax avoidance yang makin kompleks, terutama akibat digitalisasi.
Hingga 2020, terdapat lebih dari 120 negara di dunia yang memiliki ketentuan ini. Maraknya penggunaan instrumen yang bersifat umum ini sejalan dengan proyek base erosion and profit shifting (BEPS) yang digagas OECD dan G-20. ‘Begini Tren Penerapan General Anti-Avoidance Rule secara Global’.
Ulasan dalam Inside Tax edisi perdana masih relevan untuk dibaca saat ini. Terlebih, revisi UU PPh dalam UU HPP serta PP 55/2022 telah memuat beragam instrumen antipenghindaran pajak, baik khusus maupun umum, yang juga sudah diterapkan di banyak negara.
Salah satu contoh yang diulas dalam majalah Inside Tax tersebut terkait dengan treaty shopping, yakni skema untuk mendapatkan penurunan tarif pemotongan pajak yang disediakan pada P3B oleh subjek pajak yang tidak berhak.
Sesuai dengan salah satu artikel yang ditulis Darussalam dan Danny Septriadi dalam publikasi itu, penerapan ketentuan antipenghindaran pajak yang bersifat umum –seperti prinsip substance over form – harus dilaksanakan dengan hati-hati.
Dalam buku Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda, Darussalam dan Bawono Kristiaji mengatakan instrumen yang bersifat umum sering dikritik sebagai penyebab ketidakpastian karena memberikan diskresi yang begitu besar kepada otoritas pajak dalam menginterpretasikan motif bisnis.
Oleh sebab itu, desain ketentuan mengenai instrumen yang bersifat umum harus disusun dengan jelas agar tetap menjamin adilnya sistem pajak serta penghormatan atas supremasi hukum. Simak pula ‘Memahami Ketentuan Antipenghindaran Pajak: GAAR & SAAR’.
Adanya Bab VII Pasal 32-47 PP 55/2022, turunan dari Pasal 18 UU PPh s.t.d.t.d UU HPP, menjadi penanda babak baru ketentuan antipenghindaran pajak yang dimiliki Indonesia. Indonesia sudah berjalan sesuai dengan tren global dalam memerangi penghindaran pajak. (kaw)