Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak (DJP) memberikan penjelasan mengenai kriteria dokumen bersifat perdata yang menjadi objek bea meterai, terutama dokumen yang menyatakan jumlah uang, sebagaimana diatur dalam UU Bea Meterai.
DJP menyebut dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nominal lebih dari Rp5 juta dan menyebutkan penerimaan uang atau berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan merupakan objek bea meterai.
“Jika dokumen (faktur/nota) hanya menyatakan sejumlah uang dan tidak ada unsur penerimaan uang maka bukan merupakan objek bea meterai,” jelas DJP dikutip dari akun Twitter @kring_pajak, Rabu (16/11/2022).
Merujuk pada Pasal 3 ayat (1) UU No. 10/2020, bea meterai dikenakan atas dokumen yang dibuat sebagai alat untuk menerangkan mengenai suatu kejadian yang bersifat perdata dan dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.
Berdasarkan Pasal 3 ayat (2), terdapat 8 jenis dokumen yang bersifat perdata dan menjadi objek bea meterai. Pertama, surat perjanjian, surat keterangan, surat pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya.
Kedua, akta notaris beserta grosse, salinan, dan kutipannya. Ketiga, akta Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipannya. Keempat, surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Kelima, dokumen transaksi surat berharga, termasuk dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Keenam, dokumen lelang yang berupa kutipan risalah lelang, minuta risalah lelang, salinan risalah lelang, dan grosse risalah lelang;
Ketujuh, dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nilai nominal lebih dari Rp5 juta dan menyebutkan penerimaan uang atau berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan.
Kedelapan, dokumen lain yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Simak ‘Surat Pernyataan atau Perjanjian Tanpa Meterai, Apakah Sah?’ (rig)