Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Faktur pajak berbentuk elektronik (e-faktur) harus diunggah dan mendapat persetujuan dari Ditjen Pajak (DJP). Topik tersebut menjadi bahasan media nasional pada hari ini, Kamis (7/4/2022).
Sesuai dengan ketentuan pada Pasal 18 ayat (1) PER-03/PJ/2022, e-faktur wajib diunggah (di-upload) ke DJP menggunakan aplikasi e-faktur dan memperoleh persetujuan dari DJP, paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah tanggal pembuatan e-faktur.
“E-faktur yang tidak memperoleh persetujuan dari Direktorat Jenderal Pajak bukan merupakan faktur pajak,” bunyi Pasal 18 ayat (3) peraturan yang berlaku mulai 1 April 2022 tersebut. Simak ‘DJP Terbitkan Peraturan Baru Soal Faktur Pajak’.
Adapun persetujuan dari DJP diberikan sepanjang 2 hal. Pertama, nomor seri faktur pajak (NSFP) yang digunakan untuk penomoran e-faktur merupakan NSFP yang diberikan oleh DJP. Kedua, e-faktur diunggah dalam jangka waktu paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah tanggal pembuatan e-faktur.
Selain mengenai e-faktur, masih ada pula bahasan terkait dengan kebijakan baru pajak pertambahan nilai (PPN), terutama terkait dengan transaksi aset kripto.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 19 PER-03/PJ/2022, faktur penjualan yang diterbitkan oleh pengusaha kena pajak (PKP) termasuk dalam pengertian faktur pajak berbentuk elektronik (e-faktur) sepanjang memenuhi 2 hal.
Pertama, dicantumkan keterangan yang dimaksud dalam Pasal 5 PER-03/PJ/2022. Kedua, diunggah (di-upload) dengan menggunakan aplikasi e-faktur host-to-host dan memperoleh persetujuan dari DJP, paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah tanggal pembuatan e-faktur. (DDTCNews)
DJP memiliki kewenangan untuk menunjuk penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE) atau exchanger aset kripto luar negeri menjadi pemungut pajak.
Kasubdit PPN Perdagangan, Jasa & Pajak Tidak Langsung Lainnya DJP Bonarsius Sipayung mengatakan DJP sudah memiliki pengalaman menunjuk penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE) luar negeri untuk memungut pajak melalui PMK 48/2020.
"Dalam konteks kripto ini juga sama ya. Jadi, dimungkinkan pihak luar negeri kami tunjuk. Namun, tentunya setelah kami punya data," katanya. Simak ‘Aset Kripto Dikenai PPN & PPh, Potensi Penerimaan Tembus Rp1 Triliun’. (DDTCNews/Kontan/Bisnis Indonesia)
Penetapan tarif pajak atas transaksi aset kripto alias cryptocurrency sebesar 0,11% untuk PPN final dan 0,1% untuk PPh Pasal 22 final dilandasi beberapa pertimbangan.
Kasubdit PPN Perdagangan, Jasa, dan Pajak Tidak Langsung Lainnya DJP Bonarsius Sipayung menceritakan hal pertama yang dipastikan dalam penetapan tarif adalah pemerintah tidak ingin beban pajak melebihi biaya transaksi.
Mempertimbangkan sifat transaksi cryptocurrency yang anonim dan borderless, DJP pun memutuskan untuk merancang tarif pajak yang rendah. Simak ‘Kenapa Tarif Pajak Kripto Hanya 0,1%? Ternyata Ini Alasan Ditjen Pajak’. (DDTCNews/Kontan/Bisnis Indonesia)
DJP menegaskan fasilitas pembebasan PPN atas barang kebutuhan pokok sudah bisa diterapkan meskipun aturan teknis berupa peraturan pemerintah (PP) belum ditetapkan.
Kepala Subdirektorat Peraturan PPN Industri DJP Wiwiek Widwijanti mengatakan pengusaha kena pajak (PKP) sudah bisa untuk tidak mengenakan PPN berdasarkan pada UU PPN s.t.d.t.d UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
"Pengusaha tidak perlu memungutnya dari sekarang. Kalaupun dipungut nanti boleh dikembalikan lagi," ujar Wiwiek. (DDTCNews/Bisnis Indonesia)
Kepala Subdirektorat Peraturan PPN Industri DJP Wiwiek Widwijanti mengatakan UU HPP tetap mengecualikan jasa keagamaan sebagai objek PPN. Sementara untuk akomodasi perjalanan keagamaan dikenakan PPN dengan tujuan mengedepankan asas fairness atau keadilan. Adapun pengenaan PPN terhadap akomodasi perjalanan keagamaan diatur dalam PMK 71/2022.
"Sama seperti jasa biro perjalanan wisata yang lain. Ini penegasan. Jadi, bukan atas umrah, tetapi akomodasinya. Jasa keagamaan tetap non-jasa kena pajak (JKP)," kata Wiwiek. (DDTCNews) (kaw)