Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Mulai hari ini, Senin (24/5/2021), reorganisasi instansi vertikal Ditjen Pajak (DJP) resmi berlaku. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional.
DJP menyatakan pembaruan unit kerja sebagai bagian dari reformasi pajak. Adapun reorganisasi instansi vertikal DJP ini telah diamanatkan dalam PMK 184/2020 yang menjadi perubahan atas PMK 210/2017. Simak beberapa ulasan terkait dengan PMK 184/2020 di sini.
“Perubahan unit kerja di DJP berlaku per 24 Mei 2021. Perubahan tersebut meliputi pembentukan kantor pajak baru, penggabungan, dan penutupan kantor pajak,” tulis DJP dalam unggahannya di Instagram.
Awalnya, sesuai dengan amanat KEP-28/PJ/2021, waktu penerapan organisasi, tata kerja, dan saat mulai beroperasinya instansi vertikal DJP berlaku per 3 Mei 2021. Namun, dengan terbitnya KEP-146/PJ/2021, otoritas memundurkan waktu menjadi 24 Mei 2021.
Rencananya, peresmian organisasi dan tata kerja baru instansi vertikal DJP akan dilakukan pagi ini. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dijadwalkan hadir. Ada 24 KPP Pratama yang diberhentikan dan bergabung ke 24 KPP Pratama lain. Kemudian, ada 9 unit kerja – berupa 1 Kanwil, 5 KPP Pratama, dan 3 KP2KP – yang berubah nama. Selain itu, ada 18 KPP Madya baru.
Selain mengenai reorganisasi instansi vertikal DJP, ada pula bahasan terkait dengan rencana pengenaan pajak karbon. Ada pula bahasan tentang rencana perluasan pelayanan pajak berbasis digital pada tahun ini.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
DJP menegaskan pengelompokkan wilayah administrasi KPP Pratama atau KPP Madya yang baru adalah berdasarkan pada domisili wajib pajak. Informasi selengkapnya tentang perubahan unit kerja tersebut dapat dicek melalui tautan www.pajak.go.id/wilayah-administrasi.
“Perubahan unit kerja ini adalah demi cakupan pelayanan yang lebih efektif untun kenyamanan #KawanPajak,” tulis DJP melalui unggahannya di Instagram.
Adapun daftar wajib pajak yang dipindahkan ke KPP Madya telah dimuat dalam KEP-176/PJ/2021. Sementara daftar wajib pajak yang pindah dari KPP Madya ke KPP Pratama telah diputuskan melalui KEP-177/PJ/2021. (DDTCNews)
Pemerintah menyiapkan setidaknya dua alternatif skema pengenaan pajak karbon. Dalam dokumen KEM-PPKF 2022 disebutkan pajak karbon termasuk salah satu dari 6 isu strategis. Namun, pajak karbon dinilai berpotensi menimbulkan biaya sehingga pengenaannya harus dipertimbangkan dengan matang.
"Dalam penerapan pajak karbon perlu dipertimbangkan pengenaan pada sisi permintaan yang lebih preferable ketimbang pendekatan dari sisi penawaran. Kebijakan penyerta berupa penguatan daya beli masyarakat juga dapat mengurangi resistensi dan dampak yang tidak diharapkan," tulis pemerintah dalam dokumen tersebut. (DDTCNews/Kontan)
Managing Partner DDTC Darussalam berpendapat pajak karbon pada dasarnya cocok diterapkan di Indonesia. Ada alasan yang mendukung hal tersebut. Pertama, menurut IMF dan OECD, pajak karbon bisa jadi salah satu opsi kebijakan yang bisa diterapkan sebagai salah satu sumber penerimaan di tengah pandemi. Jika didesain secara ideal, kebijakan ini tidak terlalu mendistorsi pemulihan ekonomi.
Kedua, pajak karbon berorientasi pada mitigasi perubahan iklim sekaligus menjadi instrumen untuk melindungi lingkungan. Sifatnya yang ditujukan untuk mengurangi eksternalitas negatif sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Ketiga, sudah banyak negara yang menerapkan pajak karbon. Setidaknya ada 25 negara seperti Kanada, Ukraina, Jepang, Prancis, Chile, dan lainnya. Namun, Darussalam berpesan agar pemerintah tidak terburu-buru bicara mengenai tarif. Hal terpenting adalah pemetaan yang tepat. (Kontan)
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas DJP Neilmaldrin Noor mengatakan proses bisnis digitalisasi pelayanan DJP terus dilakukan secara bertahap. Sampai dengan tahun lalu, sudah ada 46 layanan perpajakan yang sudah bisa dinikmati secara elektronik.
"Sampai 2020, DJP telah mendigitalisasi 46 layanan perpajakan, sedangkan tahun 2021 DJP akan mendigitalisasi 9 layanan perpajakan," katanya. (DDTCNews)
Pemerintah berjanji akan mengembalikan defisit anggaran ke bawah level 3% dari produk domestik bruto (PDB) pada 2023 sesuai dengan komitmen pemerintah pada UU No. 2/2020. Merujuk pada postur makrofiskal jangka menengah yang tercantum dalam KEM-PPKF 2022, defisit fiskal ditargetkan turun menjadi 2,71% hingga 2,97% dari PDB pada 2023.
"Diharapkan dalam jangka menengah pendapatan negara akan kembali meningkat secara bertahap sesuai dengan kapasitas perekonomian, belanja semakin efektif, dan defisit akan kembali di bawah 3% dari PDB di tahun 2023," tulis pemerintah dalam KEM-PPKF 2022. (DDTCNews)
Terbitnya PMK 45/2021 membuat tugas account representative (AR) pada KPP lebih fokus pada satu proses bisnis. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor mengatakan tugas inti para AR setelah terbitnya PMK 45/2021 adalah melakukan pengawasan pajak.
"Dengan terbitnya PMK 45/2021 tugas AR menjadi hanya pengawasan saja," katanya. Simak pula ‘AR Fokus Pengawasan, DJP Tunjuk Pegawai Lain untuk Jalankan Pelayanan’. (DDTCNews) (kaw)