Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Dirjen pajak mengubah ketentuan pemeriksaan yang dilakukan pada masa transisi perubahan jenis KPP Pratama sebagai bagian dari reorganisasi unit vertikal Ditjen Pajak. Perubahan tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Kamis (29/4/2021).
Perubahan ketentuan itu diatur dalam PER-09/PJ/2021. Beleid ini merupakan perubahan dari aturan sebelumnya, yakni PER-06/PJ/2021. Perubahan ini juga sejalan dengan mundurnya saat mulai terdaftar wajib pajak di KPP baru dari sebelumnya 3 Mei 2021 menjadi 24 Mei 2021.
Seperti diketahui, melalui PMK 184/2020, pemerintah mengubah jenis beberapa KPP, termasuk menetapkan 18 KPP Pratama berubah jenis menjadi KPP Madya. Dalam PER-06/PJ/2021 disebutkan beberapa ketentuan pemeriksaan yang dilakukan KPP Pratama lama yang mengalami perubahan jenis.
“Terhadap pemeriksaan yang dilaksanakan oleh KPP Pratama lama yang mengalami perubahan jenis KPP … , berlaku ketentuan sebagai berikut,” demikian penggalan bunyi Pasal 6 PER-06/PJ/2021 s.t.d.d PER-09/PJ/2021.
Ketentuan pemeriksaan yang diatur ada tiga kelompok. Pertama, pemeriksaan rutin selain atas Surat Pemberitahuan (SPT) lebih bayar restitusi dan pemeriksaan khusus.
Kedua, pemeriksaan tujuan lain atas permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau pencabutan pengukuhan pengusaha kena pajak (PKP). Ketiga, pemeriksaan tujuan lain selain atas permohonan penghapusan NPWP atau pencabutan pengukuhan PKP.
Selain terkait dengan pemeriksaan di KPP Pratama yang mengalami perubahan jenis, ada pula bahasan tentang keputusan mengenai pembagian dan penetapan perincian tugas Seksi Pengawasan pada KPP.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Pemeriksaan rutin selain atas SPT lebih bayar restitusi dan pemeriksaan khusus, yang daluwarsa penetapannya sampai dengan tanggal 31 Agustus 2021, diselesaikan KPP Pratama lama paling lambat 7 Mei 2021 (ketentuan sebelumnya 16 April 2021).
Jika daluwarsa penetapannya setelah 31 Agustus 2021, diselesaikan dengan dua cara. Pertama, jika Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) telah disampaikan kepada wajib pajak sampai dengan 27 April 2021 (ketentuan sebelumnya 19 Maret 2021), penyelesaian dilakukan KPP Pratama lama paling lambat 7 Mei 2021 (ketentuan sebelumnya 16 April 2021).
Kedua, jika SPHP belum disampaikan sampai dengan 19 Maret 2021, penyelesaian dialihkan ke KPP Pratama baru atau KPP Madya pada 3 Mei 2021.
Pemeriksaan tujuan lain atas permohonan penghapusan NPWP atau pencabutan pengukuhan PKP, yang batas waktu penerbitan keputusannya sampai dengan 31 Agustus 2021, diselesaikan KPP Pratama lama paling lambat 7 Mei 2021 (ketentuan sebelumnya 16 April 2021). Jika batas waktu penerbitan keputusannya setelah tanggal 31 Agustus 2021, dialihkan ke KPP Pratama baru atau KPP Madya pada 24 Mei 2021 (ketentuan sebelumnya 3 Mei 2021).
Pemeriksaan tujuan lain selain atas permohonan penghapusan NPWP atau pencabutan pengukuhan PKP, yang permohonannya disampaikan sampai dengan 19 Maret 2021, diselesaikan KPP Pratama lama paling lambat 7 Mei 2021 (ketentuan sebelumnya 16 April 2021). Jika permohonannya disampaikan setelah 19 Maret 2021, diselesaikan KPP Pratama baru atau KPP Madya. (DDTCNews)
Dalam KEP-151/PJ/2021 ditegaskan kembali mengenai pembagian segmentasi wajib pajak, yaitu wajib pajak strategis dan wajib pajak lainnya. Pembagian dilakukan agar agar pengawasan dan pemeriksaan wajib pajak terkait dengan perluasan basis pajak dilakukan secara tepat dan efektif.
Dalam Diktum Pertama, otoritas membagi dan menetapkan perincian tugas Seksi Pengawasan pada KPP sebagaimana dimaksud dalam PMK 210/2017 s.t.d.d. PMK 184/2020. Pembagian dan penetapan tugas tercantum dalam lampiran KEP-151/PJ/2021. Simak ‘Bagi Tugas Seksi Pengawasan di KPP, Dirjen Pajak Rilis Keputusan Baru’. (DDTCNews)
Dirjen Pajak Suryo Utomo menetapkan perubahan tugas dan fungsi dua bidang pada kantor wilayah (Kanwil) selain Kanwil Wajib Pajak Besar dan Kanwil Jakarta Khusus.
Penetapan perubahan itu dituangkan dalam Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-150/PJ/2021. Adapun kedua bidang yang dimaksud, pertama, Bidang Data dan Pengawasan Potensi Perpajakan. Kedua, Bidang Pendaftaran, Ekstensifikasi, dan Penilaian.
Salah satu pertimbangan terbitnya keputusan ini adalah telah dilakukannya perubahan tugas dan fungsi KPP berdasarkan pada KEP-75/PJ/2020 dan PMK 210/2017 s.t.d.d. PMK 184/2020. Simak ‘Keputusan Baru Dirjen Pajak, Tugas 2 Bidang di Kanwil Ini Berubah’. (DDTCNews)
Manager of DDTC Fiscal Research Denny Vissaro mengatakan integrasi layanan pajak dalam platform digital dapat berdampak positif pada peningkatan kepatuhan wajib pajak dan penerimaan. Pada saat yang sama, biaya kepatuhan akan turun karena adanya otomatisasi proses bisnis.
“Kemudian, langkah tersebut akan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas serta memperluas basis data pajak yang mendorong tumbuhnya sektor ekonomi formal,” ujar Denny.
Integrasi layanan pajak juga sejalan dengan pergeseran perilaku wajib pajak yang sebagian besar telah beralih kepada layanan daring. Dengan DJP Online, lanjutnya, interaksi langsung antara wajib pajak dan petugas menjadi makin minim.
Selain berimplikasi positif terhadap kinerja pajak, sambung Denny, integrasi layanan pajak melalui DJP Online juga terbukti berkontribusi dalam meningkatkan kemudahan dan kepastian berusaha di Indonesia. Simak ‘Seluruh Layanan Bakal Masuk DJP Online, Ini Kata Periset Pajak’. (DDTCNews)
Kinerja penerimaan pajak pada kuartal I/2021 tercatat minus 5,58% secara tahunan. Adapun realisasi penerimaan PPh migas hingga Maret 2021 tercatat senilai Rp7,91 triliun. Performa tersebut sekaligus mencatatkan kontraksi 23,49% secara tahunan.
Kontraksi itu terjadi justru di tengah kenaikan harga minyak. Adapun harga minyak global jenis brent hingga akhir kuartal I 2021 menguat 61% secara tahunan. Adapun hingga pada akhir Maret 2021, harga minyak brent senilai US$63,54 per barel, lebih tinggi dibandingkan harga pada akhir kuartal I/2021 sekitar US$24 per barel. (Kontan)
Konsolidasi fiskal perlu dilakukan guna menjaga kredibilitas dan keberlanjutan jangka panjang. Analis Kebijakan Madya BKF Wahyu Utomo menerangkan bila pemerintah gagal mengembalikan defisit anggaran ke level di bawah 3% terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2023 sesuai dengan amanat UU 2/2020, keberlanjutan fiskal jangka panjang akan terganggu.
"Risiko fiskal akan makin sulit dikendalikan dengan beban bunga utang dan pokok uang yang meningkat. Ruang fiskal juga makin terbatas," ujar Wahyu. Simak ‘Ini Risiko Jika Defisit Anggaran Tidak Kembali di Bawah 3% PDB’. (DDTCNews/Bisnis Indonesia) (kaw)