Managing Partner DDTC Darussalam saat memberikan opening speech dalam webinar bertajuk The Significance of Post-BEPS MAP for Indonesian Taxpayers, Kamis (18/3/2021). (tangkapan layar Zoom)
JAKARTA, DDTCNews – Sengketa pajak lintas yurisdiksi diperkirakan akan meningkat. Melihat kondisi ini, mutual agreement procedure (MAP) diproyeksi kian menarik untuk dipertimbangkan sebagai cara efektif dan efisien untuk menyelesaikan sengketa pajak berganda.
Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan setidaknya ada dua hal yang perlu dicermati sebagai faktor yang memengaruhi sengketa pajak lintas yurisdiksi. Pertama, dinamika pajak internasional yang cepat berubah selama 5 tahun terakhir, khususnya pascamunculnya Proyek BEPS yang digagas OECD/G20.
Dinamika tersebut kemungkinan akan berlangsung lebih panjang terutama dengan melihat pembicaraan tentang pajak digital, yang mana akan turut berdampak bagi sistem pajak internasional ke depan.
Kedua, pandemi telah menyebabkan risiko pengelolaan fiskal. Menurut OECD, penerimaan pajak menjadi kunci keberhasilan pada fase pemulihan pascakrisis. Ada potensi setiap negara untuk mengoptimalkan penerimaan pajak, termasuk pada aspek pajak internasional yang berkaitan dengan perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) atau transfer pricing.
“Mencermati kedua hal tersebut, agaknya sengketa pajak yang bersifat lintas yurisdiksi diperkirakan akan meningkat. Akibatnya, peluang terjadinya pajak berganda makin besar,” ujarnya dalam webinar bertajuk The Significance of Post-BEPS MAP for Indonesian Taxpayers, Kamis (18/3/2021).
Untuk mengantisipasi meningkatnya sengketa, sambungnya, sejatinya telah tersedia mekanisme MAP di luar dari upaya hukum yang tersedia dalam hukum domestik suatu negara. Mekanisme ini hanya dapat dilakukan otoritas pajak suatu negara dan negara mitra yang terikat dalam P3B.
MAP sendiri merupakan alternatif bagi wajib pajak untuk menyelesaikan sengketa yang berpotensi menimbulkan pemajakan berganda. MAP juga jadi alternatif penyelesaian sengketa apabila terdapat indikasi tindakan otoritas negara mitra menyebabkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan P3B atau sengketa transfer pricing.
Proyek BEPS sendiri, sambung Darussalam, telah memberikan rekomendasi tentang suatu penyelesaian sengketa pajak internasional melalui MAP secara efektif dan efisien yang tertuang dalam Aksi ke-14. Komitmen tersebut pada dasarnya juga tercermin dalam tren hasil proses permohonan MAP secara global.
Dari data OECD yang dirilis November 2020 lalu, lanjutnya, ada data sebaran hasil dari upaya pencegahan pajak berganda melalui mekanisme MAP yang dianggap diselesaikan (case closed) selama 2019. Data yang disusun OECD merupakan tren yang terjadi secara global dan mencakup laporan 105 negara yang tergabung dalam BEPS Inclusive Framework.
Pola hasil permohonan MAP yang dapat diselesaikan pada 2019 tersebut terdiri atas 1.114 sengketa transfer pricing dan 1.707 kasus sengketa lainnya. Total keseluruhannya adalah 2.821 kasus secara global.
Secara umum, ada tiga aspek yang ingin disoroti dari data tersebut. Pertama, terjadi peningkatan jumlah sengketa yang dapat diselesaikan melalui MAP. Hal ini menunjukkan komitmen setiap negara serta dorongan OECD melalui peer review untuk menciptakan kepastian MAP.
Kedua, mayoritas permohonan MAP yang dapat diselesaikan menghasilkan kesepakatan untuk mencegah pajak berganda secara penuh. Hal tersebut ditunjukkan dengan tingginya persentase baik atas seluruh kasus (52%), hanya kasus transfer pricing (75%), maupun kasus lainnya (46%).
Ketiga, durasi yang dibutuhkan untuk penyelesaian sengketa juga makin cepat, khususnya untuk kasus transfer pricing. Waktu penyelesaian dari 33 bulan (2018) menjadi 30,5 bulan (2019).
Melihat pola sebaran permohonan MAP yang dianggap selesai (case closed) secara global tersebut, menurut Darussalam, terdapat suatu sinyal positif. MAP akan kian menarik untuk dipertimbangkan sebagai cara efektif dan efisien untuk menyelesaikan sengketa pajak berganda.
Sebagai salah satu standar minimum, implementasi Aksi ke-14 tersebut telah mendorong berbagai negara untuk merumuskan sekaligus memperbaiki regulasi MAP. Di Indonesia, pemerintah juga telah berkomitmen mewujudkan proses MAP yang efisien dan efektif melalui PMK 49/2019 serta PER16/PJ/2020.
Dari kedua beleid tersebut, Darussalam berpendapat pemerintah terlihat telah menyediakan upaya penyelesaian sengketa pajak internasional yang lebih berkepastian, berorientasi bagi wajib pajak, serta selaras dengan international best practice melalui rezim MAP saat ini.
“Oleh karena itu, hal ini tentu perlu dimanfaatkan oleh wajib pajak, terutama jika melihat dinamika pajak internasional yang bergerak cepat dan rentan terjadi sengketa,” imbuhnya.
Sebagai informasi, webinar ini merupakan webinar keempat atau terakhir dalam DDTC Tax Week 2021. (kaw)