REVISI PP 73/2019

Industri Mobil Listrik Indonesia Diyakini Ungguli Thailand, Kok Bisa?

Dian Kurniati
Sabtu, 20 Maret 2021 | 07.01 WIB
Industri Mobil Listrik Indonesia Diyakini Ungguli Thailand, Kok Bisa?

Ilustrasi mobil listrik. (Foto: technologyreview.com)

JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah berencana mengamendemen Peraturan Pemerintah (PP) No. 73/2019 untuk menaikkan tarif pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) pada mobil hybrid agar daya saing mobil listrik (Battery Electric Vehicle/BEV) di dalam negeri semakin kuat.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu mengatakan kebijakan itu akan mendorong investor mobil listrik berdatangan dan membangun pabrik di Indonesia.

Jika demikian, dia meyakini industri otomotif Indonesia akan lebih unggul dari Thailand, yang selama ini menjadi pesaing kuat industri mobil konvensional di Asean dan sama-sama tengah bersiap mendorong industri mobil listrik.

"Thailand juga memberi insentif cukup agresif [pada industri mobil listrik], mengurangi pajak kendaraan bermotor dan cukai, karena selama ini mereka ada cukai kendaraan bermotor," katanya dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR, Senin (15/4/2021).

Febrio mengatakan berbagai negara di dunia telah memberikan insentif pajak untuk mendorong industri mobil listrik. Misalnya, China yang mampu menekan harga mobil listrik dari 3,4 kali terhadap harga mobil konvensional menjadi 1,9 kali berkat insentif pajak.

Di level Asean, Febrio menyebut Indonesia akan bersaing ketat dengan Thailand dalam mendorong industri mobil listrik. Pemerintah Thailand menargetkan produksi kendaraan listrik terus meningkat setiap tahun, bahkan mencapai 30% dari total produksi otomotif pada 2030.

Salah satu strateginya, memberikan pembebasan cukai kepada mobil listrik yang memperoleh promosi dari Badan Investasi mulai 1 Januari 2020 hingga 31 Desember 2022. Setelah 2022, tarif cukai kendaraan listrik itu ditetapkan sebesar 2%, sedangkan normalnya mencapai 8%.

Thailand menerapkan cukai atas pembelian barang mewah, sedangkan Indonesia memberlakukan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Oleh karena itu, Febrio menyebut pembebasan mobil listrik dari PPnBM akan meningkatkan daya saing Indonesia dari Thailand.

"Kita akan cukup kompetitif dengan [tarif PPnBM) BEV di 0%. Thailand menjadi negara yang dipantau cukup dekat [dalam persaingan menarik investasi mobil listrik]," ujarnya.

Amendemen PP No. 73/2019 tidak akan mengubah tarif PPnBM pada BEV yang ditetapkan 0%. Namun, pemerintah melalui amendemen berencana meningkatkan tarif PPnBM pada Plug-In Hybrid Electric Vehicle (PHEV) dan mobil hybrid, yang menjadi kompetitor utama mobil listrik.

Pemerintah telah merancang 2 skema tarif PPnBM pada PHEV dan mobil hybrid. Pada skema I, tarif PPnBM pada PHEV yang semula direncanakan 0% akan naik menjadi 5%, sedangkan full-hybrid (pasal 26) akan naik dari 2% menjadi 6%, dan full-hybrid (Pasal 27) naik dari 5% menjadi 7%.

Sementara itu, tarif PPnBM full-hybrid (Pasal 28) tetap 8%, mild-hybrid (Pasal 29) 8%, mild-hybrid (Pasal 30) 10%, dan mild-hybrid (Pasal 31) 12%. Pemerintah membuat tarif PPnBM mobil hybrid secara progresif karena emisi gas buangnya juga semakin besar dibandingkan dengan BEV.

PPnBM mobil hybrid akan beralih ke skema 2 dengan tarif yang lebih progresif jika investor mobil listrik telah merealisasikan penanaman modal minimum Rp5 triliun dan memproduksi mobil secara komersial.

Ketika komitmen itu terpenuhi, pemerintah akan kembali menaikkan tarif PPnBM pada PHEV dan mobil hybrid agar mobil listrik semakin kompetitif di dalam negeri.

Tarif PPnBM PHEV pada skema 2 akan naik menjadi 8%, sementara pada mobil hybrid yang tarifnya 6%, 7%, dan 8% akan naik menjadi 10%, 11%, dan 12%. Demikian pula pada mild hybrid yang tarif PPnBM-nya 8%, 10%, dan 12% akan naik menjadi 12%, 13%, dan 14%.

Febrio menambahkan pengembangan industri mobil listrik tidak hanya untuk kebutuhan dalam negeri, melainkan juga dipersiapkan untuk ekspor. Pasar ekspor potensial untuk mobil Indonesia, baik konvensional maupun listrik, yakni regional Asia Tenggara dan Australia.

"Walau [PP No.73/2019] baru akan berlaku Oktober 2021, saat ini sudah diantisipasi sehingga dalam konteks pemanfaatan sumber daya dan persaingan global, jangan sampai ketinggalan," ujarnya. (Bsi)

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.