Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah dalam Rapat Kerja dan Konsultasi Nasional (Rakerkonas) Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) 2020, Rabu (12/8/2020).
JAKARTA, DDTCNews – Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) telah menyerahkan draf baru klaster ketenagakerjaan dari RUU Omnibus Law Cipta Kerja kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengungkapkan sudah tercapai kesepakatan antara pemerintah, pengusaha, dan tenaga kerja sudah menyepakati penyempurnaan dari klaster ketenagakerjaan RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
"Kami sudah bertemu Baleg untuk penyempurnaan RUU Omnibus Law Cipta Kerja dari draf sebelumnya. Mudah-mudahan apa yang menjadi kesepakatan kita ini akan menjadi kesepakatan bersama dengan Baleg DPR RI," ujar Ida dalam Rapat Kerja dan Konsultasi Nasional (Rakerkonas) Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) 2020, Rabu (12/8/2020).
Menurut Ida, klausul-klausul baru dalam klaster ketenagakerjaan diharapkan bisa memudahkan pelaku usaha untuk melindungi hak-hak tenaga kerja di tengah kebutuhan yang semakin kompleks seiring dengan meningkatnya otomatisasi, pemanfaatan artificial intelligence (AI), internet of things (IoT), dan big data.
"Perubahan paradigma kerja ini akan merubah cara kerja dan keahlian yang dibutuhkan oleh pelaku usaha ke depan," ujar Ida.
Seperti diketahui, perubahan drastis yang diusung dalam draf awal klaster ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja menimbulkan penolakan keras dari kelompok tenaga kerja. Pemerintah pun memutuskan untuk menunda pembahasan dari klaster dalam rangka merevisi isi dari ketentuan ketenagakerjaan dari RUU Omnibus Law Cipta Kerja tersebut.
Tak hanya tenaga kerja, World Bank juga memberi catatan khusus mengenai ketentuan ketenagakerjaan dalam beleid sapu jagat ini melalui laporan berjudul "Indonesia Economic Prospects: The Long Road to Recovery".Â
World Bank menyebut klausul ketenagakerjaan dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja berpotensi menggerus perlindungan tenaga kerja. Simak artikel ‘World Bank: Omnibus Law Cipta Kerja Berpotensi Merugikan Ekonomi’.
Skema upah minimum terbaru serta pembayaran pesangon yang lebih longgar dibandingkan UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan berpotensi memperlemah perlindungan terhadap tenaga kerja serta meningkatkan ketimpangan penerimaan.
Pada Pasal 88D, penentuan upah minimum yang akan ditetapkan hanya memperhitungkan pertumbuhan ekonomi provinsi. Hal ini berbeda dengan ketentuan yang saat ini berlaku, yaitu upah minimum ditentukan berdasarkan pertumbuhan ekonomi nasional dan inflasi nasional.
Lebih lanjut, Pasal 88E juga mengatur industri padat karya bakal memiliki ketentuan upah minimum tersendiri menggunakan formula tertentu yang tidak diperinci pada RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
Terakhir, ketentuan upah minimum tidak diberlakukan atas usaha mikro dan kecil. Pada Pasal 90B tertulis upah usaha mikro dan kecil ditetapkan berdasar kesepakatan antara pengusaha dan pekerja. Kesepakatan upah harus berada di atas garis kemiskinan Badan Pusat Statistik. (kaw)