Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita (tengah) berbincang dengan pekerja saat mengunjungi perusahaan furnitur tersebut di Demak, Jawa Tengah, Senin (22/6/2020). ANTARA FOTO/Aji Styawan/wsj.
JAKARTA, DDTCNews—Kementerian Perindustrian tengah merumuskan peta jalan untuk meningkatkan substitusi impor hingga 35% pada 2022.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan pemerintah ingin meningkatkan daya saing industri nasional dengan memproduksi barang-barang substitusi impor.
Menurutnya substitusi impor merupakan hal penting untuk dilakukan demi mengurangi ketergantungan terhadap barang modal dan bahan baku, serta melengkapi struktur pohon industri di Tanah Air.
"Kami sedang dalam proses merumuskan road map untuk program substitusi impor sehingga nanti output dan outcome-nya adalah substitusi impor dapat mencapai 35% pada 2022," kata Agus dalam keterangan tertulis, dikutip Kamis (30/7/2020).
Dia menambahkan prioritas peningkatan substitusi impor tersebut adalah industri yang punya nilai impor besar pada 2019 seperti mesin, kimia, logam, elektronika, makanan, peralatan listrik, tekstil, kendaraan bermotor, barang logam, serta karet dan barang dari karet.
"Ini yang akan kami tangani melalui berbagai kebijakan. Kami percaya upaya ini akan mendorong pendalaman struktur industri, peningkatan investasi, dan penyerapan tenaga kerja baru," ujarnya.
Beberapa strategi yang akan dilakukan antara lain melalui peningkatan utilisasi produksi seluruh sektor industri pengolahan, dengan target peningkatan secara bertahap menjadi 60% pada tahun 2020, 75% pada 2021, dan 85% pada 2022.
Agus menambahkan utilisasi sektor industri sebelum terjadinya pandemi virus Corona sempat mencapai 75%, tetapi kemudian turun drastis hingga 40%. Kini, rata-rata utilisasi sektor industri manufaktur perlahan mulai bangkit ke level 50%.
Pemerintah juga menyusun instrumen pengendalian impor, di antaranya melalui larangan terbatas, pemberlakuan preshipment inspection, maupun pengaturan pelabuhan di wilayah timur Indonesia sebagai entry point untuk komoditas yang diutamakan.
Instrumen lainnya, yakni pembenahan lembaga sertifikasi produk untuk penerbitan Standar Nasional Indonesia (SNI), penerapan SNI wajib, mengembalikan aturan pemeriksaan produk impor dari post-border ke border, menaikkan tarif Most Favored Nation untuk komoditas strategis, serta menaikkan implementasi trade remedies.
"Dibandingkan dengan negara lain, Indonesia hanya menerapkan safeguard bagi 102 jenis produk dan antidumping bagi 48 produk, artinya produk impor masih mudah masuk ke Indonesia," tutur Agus.
Meski begitu, ia menilai pelaksanaan berbagai strategi tersebut memerlukan dukungan dari semua stakeholders, baik pelaku industri maupun dari kementerian dan lembaga lainnya agar dapat berjalan optimal.
Tak ketinggalan, pemerintah juga fokus mengembangkan sektor industri kecil dan menengah dengan berbagai cara di antaranya memfasilitas penyerapan bahan baku, optimalisasi Kredit Usaha Rakyat, dan meningkatkan konsumsi produk dalam negeri. (rig)