Managing Partner DDTC Darussalam saat paparan dalam webinar bertajuk 'Babak Baru Pajak Digital', Rabu (22/7/2020)
JAKARTA, DDTCNews—Kebijakan PPN atas produk digital asing sudah mulai berjalan. Meski begitu, kebijakan tersebut dinilai masih menyisakan pekerjaan rumah di antaranya dalam hal memungut pajak penghasilan dari korporasi digital.
Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan upaya pemajakan ekonomi digital dengan instrumen PPN yang diatur dalam PMK No.48/2020 sudah sejalan dengan prinsip PPN dan tidak bertentangan dengan aturan perpajakan internasional.
"Untuk PPN Netflix tidak ada masalah kebijakan karena sesuai dengan prinsip destinasi dari PPN. Sekarang bagaimana PPh perusahaan seperti Netflix. Ini masih menyisakan masalah," katanya dalam webinar bertajuk 'Babak Baru Pajak Digital', Rabu (22/7/2020).
Darussalam menyebutkan terdapat dua isu utama dalam pengenaan PPh atas perusahaan digital. Pertama, belum lahirnya konsensus global membuat penerapan PPh atau pajak transaksi elektronik atas entitas bisnis digital lintas yurisdiksi atau negara, sangat berpotensi menjadi sengketa pajak antarnegara.
Fenomena ini bahkan sudah terjadi. Misal, antara Prancis dan Amerika Serikat (AS) pada tahun lalu. Langkah Negeri Mode memperkenalkan digital services tax (DST) direspons AS dengan aksi retaliasi perdagangan.
Kedua, memastikan alokasi penghasilan yang dikenai PPh atau PTE dilakukan secara adil dan tidak diskriminatif. Hal ini berkaitan dengan beragamnya jenis bisnis pelaku usaha digital dan selalu berinovasi sehingga regulasi yang dibuat wajib mengakomodasi seluruh proses bisnis ekonomi digital.
"Ekonomi digital merupakan sektor yang dinamika perubahannya sangat cepat. Maka kebijakan pajak jangan sampai terlambat dalam mengikuti perubahan dengan terobosan kebijakan," tutur Darussalam.
Ketua Asosiasi Tax Center Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia (Atpetsi) ini menambahkan pemerintah sudah mempunyai dasar hukum untuk menerapkan PPh atau PTE atas perusahaan digital seperti Google dan Netflix lewat UU No.2/2020.
Kini, lanjutnya, pilihan kebijakan ada di tangan pemerintah apakah akan melanjutkan regulasi pada tahap pelaksanaan teknis di lapangan. Simak artikel: 'Investigasi Pajak Digital, Indonesia Kirim Komentar Tertulis ke AS'.
Menurut Darussalam, skema PPh dengan mengubah definisi bentuk usaha tetap (BUT) dari kehadiran fisik menjadi kehadiran signifikan secara ekonomi serta memperkenalkan pajak transaksi elektronik merupakan kebijakan antisipatif pemerintah.
Kebijakan PPh dan PTE atas ekonomi digital tidak lain untuk menjamin kedaulatan pajak Indonesia jika konsensus global yang digagas OECD/G20 urung tercapai pada akhir tahun nanti.
“Persoalan pajak yang bersifat lintas yurisdiksi sebaiknya juga memiliki solusi yang sifatnya multilateral. UU 2/2020 merupakan langkah rasional pemerintah yang bersifat antisipatif dan mencerminkan perjuangan kedaulatan pajak kita,” ujarnya. (rig)