Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Mercu Buana Harnovinsah saat membuka acara IAI Goes to Campus-Webinar dengan tema “Kebijakan Insentif Pajak: Pendorong Ekonomi di Masa Pandemi Covid-19”.
JAKARTA, DDTCNews – Kompartemen Akuntan Perpajakan Ikatan Akuntan Indonesia (KAPj IAI) bekerja sama dengan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Mercu Buana menyelenggarakan IAI Goes to Campus-Webinar pada hari ini, Sabtu (20/6/2020).
Acara yang mengambil tema “Kebijakan Insentif Pajak: Pendorong Ekonomi di Masa Pandemi Covid-19” dibuka langsung oleh Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Mercu Buana Harnovinsah.
Narasumber dalam acara ini adalah Ketua KAPj IAI sekaligus Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak (DJP) John Hutagaol dan Managing Partner DDTC Darussalam. Hadir pula Ketua Tax Center FEB Universitas Mercu Buana Waluyo. Dosen Universitas Mercu Buana Lin Oktris hadir sebagai moderator.
Dalam sambutannya, Dekan FEB Universitas Mercu Buana Harnovinsah mengatakan kebijakan insentif pajak memang telah menjadi salah satu andalan pemerintah dalam merespons virus Corona (Covid-19). Berbagai Insentif pajak menjadi stimulus untuk perekonomian yang lesu.
“Adanya pemberian insentif pada akhirnya membuat penerimaan pajak menjadi turun. Namun, kalau tidak diberi stimulus, repot juga karena perekonomian juga melambat,” ujar Harnovinsah.
Oleh karena itulah, pemerintah telah melakukan refocusing anggaran untuk merespons adanya penurunan penerimaan. Namun, karena kebutuhan belanja negara masih cukup besar, termasuk untuk pemulihan ekonomi, penambahan utang tidak terhindarkan.
Ketua KAPj IAI sekaligus Direktur Perpajakan Internasional DJP John Hutagaol mengatakan pada dasarnya pajak memiliki fungsi penerimaan (budgeter) dan fungsi mengatur (regulerend). Pemberian insentif ini menjadi bagian dari fungsi regulerend.
“Memang ada trade-off antara pemberian insentif pajak dengan penerimaan negara. Namun, juga harus dipahami, pemberian insentif atau relaksasi ini menjadi bagian dari paket stimulus untuk pemulihan ekonomi nasional. Dia tidak berdiri sendiri,” ujar John.
Dalam kesempatan itu, John menjabarkan tujuan pemberian insentif pajak. Pertama, menstimulus ekonomi akan berjalan stabil. Kedua, memperkuat tingkat konsumsi masyarakat. Ketiga, memberi relaksasi cashflow pelaku usaha. Keempat, mendukung operasional perusahaan-perusahaan kesehatan dan sumber daya manusia yang terlibat dalam penanganan Covid-19.
Total nilai insentif pajak yang diberikan diestimasi senilai Rp123,01 triliun. Perinciannya adalah PPh Pasal 21 DTP senilai Rp39,66 triliun, PPh final UMKM DTP senilia Rp2,40 triliun, dan pembebasan PPh Pasal 22 Impor senilai Rp14,75 triliun.
Kemudian, ada pengurangan angsuran PPh Pasal 25 senilai Rp14,40 triliun, pengembalian pendahuluan PPN senilai Rp5,80 triliun, penurunan tarif PPh badan senilai Rp20 triliun, serta cadangan dan stimulus lain senilai Rp26,00 triliun.
Selain itu, pemerintah juga telah memberikan berbagai relaksasi dari sisi administrasi pajak. Salah satu yang sudah dilakukan adalah perpanjangan deadline pelaporan surat pemberitahuan (SPT) tahunan PPh orang pribadi dan penundaan penyampaian kelengkapan dokumen SPT tahunan PPh.
Managing Partner DDTC Darussalam sekaligus Ketua Umum Asosiasi Tax Center Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia (Atpetsi) mengatakan respons Indonesia dengan menggunakan instrumen pajak sebagai respons adanya pandemi Covid-19 sudah selaras dengan 138 yurisdiksi lainnya.
Berdasarkan studi komparasi yang dilakukan oleh DDTC Fiscal Research (per 29 Mei), kemudahan administrasi dan peningkatan arus kas usaha masih paling banyak disasar pemerintah di berbagai negara, berturut-turut sebesar 37,1% dan 35,8%. Selain itu, ada tujuan untuk menunjang sistem kesehatan (11,4%), peningkatan arus kas rumah tangga (6,3%), dan dukungan untuk investasi (3,5%).
Adanya pemberian insentif ini, sambung Darussalam, memang akan berdampak pada pelebaran tax expenditure. Bersamaan dengan adanya perlambatan ekonomi, langkah yang diambil pemerintah saat ini akan membuat penerimaan pajak turun.
Masih bertumpunya keuangan negara pada penerimaan pajak memunculkan pertanyaan apakah perlu terus diberikan atau tidaknya insentif dalam jangka panjang. Menurutnya, setelah masa pandemi Covid-19, relaksasi harus secara bertahap dikurangi.
“Dalam masa pandemi ini terlihat bahwa pajak adalah urat nadi suatu negara. Namun, ekonomi jangan selalu dikaitkan dengan relaksasi. Relaksasi bisa diganti dengan kepastian hukum. Ini yang lebih penting,” jelas Darussalam. (kaw)