Senior Partner DDTC Danny Septriadi saat memberikan paparan dalam Regular Tax Discussion ‘APA: Upaya Meminimalkan Sengketa Perpajakan Terkait Isu Transfer Pricing’, Kamis (14/5/2020).
JAKARTA, DDTCNews – Pelaksanaan kesepakatan harga transfer (advance pricing agreement/APA) dinilai layak untuk diperjuangkan karena mampu memberikan kepastian.
Senior Partner DDTC Danny Septriadi mengatakan dalam PMK 22/2020, periode APA mencakup paling lama 5 tahun pajak setelah tahun pajak diajukannya permohonan APA. Ada pula skema roll-back atau pemberlakuan hasil kesepakatan dalam APA untuk tahun-tahun pajak sebelum periode APA. Simak artikel ‘Mengukur Relaksasi atas Kesepakatan Harga Transfer’ dan ‘Diskusi MAP Tidak Selesai: Konsekuensi dan Alternatifnya’.
“Jadi ini adalah suatu hal yang sebenarnya mungkin sulit di awal dalam negosiasi tapi, menurut saya berdasarkan pengalaman, sangat layak untuk diperjuangkan,” ujarnya dalam Regular Tax Discussion ‘APA: Upaya Meminimalkan Sengketa Perpajakan Terkait Isu Transfer Pricing’, Kamis (14/5/2020).
Dalam acara yang dihelat Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) tersebut, Danny mengatakan APA layak didahulukan. Hal ini karena jika terjadi sengketa, mulai dari pemeriksaan, keberatan, hingga banding, wajib pajak akan dihadapkan pada ketidakpastian.
Menurutnya, wajib pajak atau dalam hal ini perusahaan multinasional hanya membutuhkan kepastian. Kepastian itu terutama terkait besaran pajak yang harus dibayar sehingga tidak ada kejutan ketetapan pajak karena koreksi transfer pricing di kemudian hari. Ketidakpastian juga karena waktu penyelesaian sengketa yang memakan waktu yang sangat lama, mulai dari proses pemeriksaan, keberatan, banding, sampai terbitnya putusan.
“Dengan APA, kita berdiskusi dan bernegosiasi terkait penentuan range, metode, pembanding, dan asumsi kritis dengan waktu yang cukup. Kalau pemeriksaan lebih bayar, keberatan, dan banding terkait sengketa transfer pricing, yang umumnya terkait sengketa fakta, waktu untuk menjelaskannya sangat terbatas. ,” imbuh Danny.
Di awal diskusi Danny membahas mengenai asumsi kritis dan kondisi ekonomi. Hal ini dikaitkan dengan ketentuan bahwa permohonan APA tidak mengakibatkan laba operasi wajib pajak lebih kecil dari 3 tahun SPT terakhir sebelum tahun pajak diajukannya permohonan APA. Ketentuan tersebut bisa menjadi kendala bagi wajib pajak dalam kondisi pandemik Covid-19.
Dalam kesempatan itu, Danny juga sedikit mengulas kasus Kodak India karena dalam PMK 22/2020 juga diatur mengenai transaksi yang dilakukan antarpihak yang tidak memiliki hubungan istimewa tetapi pihak afiliasi dari salah satu atau kedua pihak yang bertransaksi tersebut menentukan lawan transaksi dan harga transaksi. Simak artikel ‘Hubungan Istimewa & Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa’.
“Secara de facto, transaksi antara Kodak India dan Carestream India merupakan transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa. Hubungan itu antara Kodak USA dan Onex Healthcare Holding melalui kontrak antara keduanya,” katanya. Uraian kasus selengkapnya dapat dilihat di artikel ‘Belajar dari Kasus Kodak India’.
Danny juga membahas mengenai rentang kewajaran. Dalam PMK 22/2020 disebutkan rentang kewajaran adalah nilai minimum sampai dengan nilai maksimum (full range) dalam hal terbentuk dari dua pembanding atau nilai kuartil satu sampai tiga (interquartile range) dalam hal terbentuk dari tiga atau lebih pembanding.
“Sizeable number ini menarik untuk didiskusikan karena saya menemukan artikel terbaru dari IBFD, minimal 27 pembanding untuk menetapkan full range,” katanya. Simak artikel ‘Polemik Jumlah Pembanding pada Penerapan Rentang Kewajaran’. (kaw)