ANALISIS TRANSFER PRICING

Mengukur Relaksasi atas Kesepakatan Harga Transfer

Sabtu, 11 April 2020 | 10:30 WIB
Mengukur Relaksasi atas Kesepakatan Harga Transfer

David Steven Macquairie, DDTC Consulting

KEPASTIAN hukum dan menarik investasi menjadi tema besar pemerintah tahun ini. Sejalan dengan itu, Kementerian Keuangan telah merilis Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.03/2020 yang mengatur tata cara pelaksanaan kesepakatan harga transfer (advance pricing agreement/APA).

PMK 22/2020 yang mencabut PMK Nomor 7/PMK.03/2015 ini didasarkan komitmen pemerintah untuk memenuhi standar minimum rencana aksi nomor 14 proyek OECD/G20 Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) yang telah menyempurnakan prosedur pelaksanaan APA.

Selain mengatur pelaksanaan APA, PMK 22/2020 juga mengatur penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Kebijakan ini diharapkan memberikan angin segar bagi iklim perekonomian dan investasi di Indonesia. Lantas hal baru apa saja yang diubah dan ditambahkan dalam PMK tersebut?

Reformasi Kebijakan
APA merupakan skema transaksi antara pihak yang mempunyai hubungan istimewa berdasar kriteria yang tepat seperti metode, perbandingan dan penyesuaian, serta asumsi kondisi akan datang, untuk menentukan harga transfer antara pihak-pihak tersebut dalam periode tertentu. (OECD, 2017)

Dalam perkembangannya, peraturan APA sudah mengalami banyak kemajuan terutama sejak diterbitkannya BEPS Action 14 yang kemudian diikuti oleh anggota negara/yurisdiksi The Inclusive Framework on BEPS yang saat ini berjumlah 137 negara/yurisdiksi.

Otoritas pajak dan pembayar pajak juga semakin sadar manfaat APA sebagai mekanisme untuk mencegah timbulnya penyelesaian sengketa transfer pricing. Seiring dengan transformasi lanskap pajak internasional, banyak negara melakukan reformasi kebijakan APA.

NTA Jepang misalnya, membuat regulasi administrasi yang inovatif dan melakukan investasi sumber daya untuk meningkatkan penyelesaian APA di negaranya. CRA Kanada juga melakukan evaluasi atas proses administrasi penyelesaian APA untuk memperbarui regulasi APA. (Markham, 2020).

Menyikapi perkembangan APA secara global itu, Indonesia juga berkeinginan menyempurnakan regulasinya agar dapat meningkatkan efektivitas pelaksanaan APA. Setidaknya terdapat beberapa ketentuan prosedur dalam APA yang mengalami perubahan serta penambahan.

Pertama, pengajuan permohonan APA mulai saat ini hanya dapat dilakukan oleh wajib pajak dalam negeri. Ketentuan pasal tersebut menutup hak yang sebelumnya juga dimiliki oleh wajib pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT) dan wajib pajak dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).

Kedua, dihapuskannya tahap permohonan pembicaraan awal atau dikenal dengan sebutan pre-filing stage/pre-lodgment stage.

Ketiga, perubahan mekanisme terkait dengan permohonan APA yang dapat diajukan atas seluruh atau sebagian transaksi afiliasi domestik dan/atau luar negeri dengan jangka waktu pengajuan 12-6 bulan sebelum dimulainya periode APA dimaksud.

Adapun kelengkapan permohonan APA diubah dengan hanya menyertakan laporan keuangan dan transfer pricing documentation untuk 3 tahun sebelumnya berikut penjelasan penerapan prinsip kelaziman dan kewajaran usaha. Penyampaiannya juga tidak lagi ditujukan ke Direktorat Perpajakan Internasional, tetapi cukup disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat wajib pajak terdaftar.

Keempat, perubahan terkait dengan jangka waktu yang dapat dicakup APA yang sebelumnya hanya 3 tahun untuk unilateral dan 4 tahun untuk bilateral. Berdasarkan PMK 22/2020, jangka waktu tersebut diperpanjang menjadi 5 tahun baik untuk unilateral maupun bilateral.

Kelima, telah diatur ketentuan mengenai pencabutan permohonan, pembatalan dan renegoisasi APA yang pengaturan tersebut sebelumnya tidak diatur secara jelas di dalam peraturan sebelumnya.

Terakhir, diberlakukannya ketentuan roll-back yang sebelumnya tidak diatur, yaitu pemberlakuan hasil kesepakatan harga transfer untuk tahun pajak sebelum periode APA yang memenuhi ketentuan dan persyaratan tertentu.

Syarat ini antara lain fakta dan kondisi transaksi afiliasi yang dimohonkan secara material sama dengan APA yang disepakati. Kemudian pada tahun pajak dimaksud belum diterbitkan surat keputusan pajak atas pajak penghasilan badan, dan tahun pajak itu tidak berada dalam daluwarsa penetapan. Dengan demikian, roll-back ini dapat mencakup 5 tahun.

Penyederhanaan Prosedur
SEBAGAIMANA diketahui, penerapan ketentuan roll-back ke tahun-tahun sebelumnya dapat membantu mencegah timbulnya sengketa pajak transfer pricing (OECD Report, 2019). Harapannya, kebijakan itu dapat mencegah timbulnya sengketa transfer pricing secara efektif dan efisien.

Karena itu, PMK 22/2020 menyempurnakan dan menambahkan ketentuan baru yang sebelumnya tidak diatur. Namun, apakah perubahan dalam tata cara pengajuan APA tersebut memberikan daya tarik serta manfaat yang besar bagi wajib pajak?

Perubahan aturan yang tertuang dalam PMK 22/2020 terlihat bertujuan menyederhanakan prosedur pengajuan permohonan APA sehingga terasa lebih hemat, singkat dan efisien dibandingkan dengan ketentuan sebelumnya.

Penyelesaian APA yang terlalu lama karena prosedur yang panjang dan batas penyelesaian yang tidak jelas dapat dicegah oleh PMK 22/2020. Negosiasi yang berlarut-larut dikhawatirkan bisa menimbulkan ketidakpercayaan dan ketidakpastian hukum bagi wajib pajak (Ngantung dan Tobing, 2013).

Kesederhanaan prosedur pengajuan APA terlihat jelas dengan ditiadakannya tahapan pre-filing stage yang dalam praktik dapat menghabiskan waktu 3-4 bulan. Kemudahan lainnya adalah mekanisme penyampaian permohonan APA yang kini dapat diajukan ke KPP tempat wajib pajak terdaftar.

Hal ini sangat membantu wajib pajak yang berdomisili jauh dari kantor pusat Ditjen Pajak. PMK 22/2020 juga memberi panduan dan formulir standar dalam mengajukan permohonan APA, dan kepastian hukum pencabutan permohonan, renegosiasi dan pembatalan yang dahulu tidak diatur.

Sebagai penutup, kebijakan roll-back diyakini dapat meningkatkan minat wajib pajak untuk mengajukan permohonan APA, sehingga ke depan dapat menekan jumlah sengketa pajak transfer pricing (OECD Report, 2019).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan terbitnya PMK 22/2020 diharapkan menjadi insentif pajak karena memberikan kesederhanaan prosedur pengajuan permohonan APA dan juga kepastian hukum, sehingga diharapkan menarik minat wajib pajak untuk memanfaatkan fasilitas APA.*

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Jumat, 29 Maret 2024 | 14:00 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Pengajuan Perubahan Kode KLU Wajib Pajak Bisa Online, Begini Caranya

Jumat, 29 Maret 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Perlakuan PPh atas Imbalan Sehubungan Pencapaian Syarat Tertentu

Kamis, 28 Maret 2024 | 15:00 WIB KPP PRATAMA TANJUNG REDEB

Omzet Belum Tembus Rp 4,8 Miliar, Rumah Makan Padang Kukuh Ajukan PKP

Kamis, 28 Maret 2024 | 13:17 WIB PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

Optimalisasi Dua PP Perpajakan Migas Jadi Cara untuk Genjot PNBP Migas

BERITA PILIHAN