JAKARTA, DDTCNews - Pelaku UMKM boleh lah sedikit lega. Tarif pajak penghasilan (PPh) final sebesar 0,5% yang selama ini dimanfaatkan oleh pelaku UMKM bisa terus dipakai hingga 2029.
Topik perpanjangan PPh final ini mendapat sorotan netizen selama sepekan terakhir.
Pemerintah memang belum lama ini menegaskan adanya perpanjangan periode pemanfaatan PPh final bagi pelaku UMKM hingga 2029. Sayangnya, peraturan teknisnya tak kunjung terbit. Terus harus bagaimana?
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menjamin seluruh wajib pajak orang pribadi pelaku UMKM dapat menggunakan tarif PPh final sebesar 0,5% hingga 2029.
Dia mengatakan ketentuan pajak ini berlaku bagi UMKM dengan omzet sampai dengan Rp4,8 miliar setahun. Menurutnya, pemerintah masih menyiapkan revisi PP 55/2022 sebagai payung hukum perpanjangan jangka waktu pemanfaatan rezim PPh final 0,5% untuk UMKM orang pribadi.
"PPh final dipastikan [berlaku] sampai dengan 2029, UMKM hanya dikenakan tarif PPh final 0,5% untuk omzet sampai Rp4,8 miliar," ujarnya.
Keberlanjutan skema PPh final UMKM ini merupakan salah satu program yang menjadi bagian dari paket stimulus pemerintah.
Perpanjangan jangka waktu pemanfaatan PPh final UMKM dengan tarif 0,5% ini bertujuan untuk meringankan beban pajak dan menyederhanakan kewajiban administrasi wajib pajak.
Pada 2025, pemerintah telah mengalokasikan anggaran senilai Rp2 triliun untuk menjalankan program tersebut, dengan jumlah wajib pajak UMKM yang terdaftar sebanyak 542.000.
Pemerintah perlu merevisi PP 55/2022 guna memperpanjang periode PPh final untuk UMKM orang pribadi hingga 2029. Regulasi itu akan menjadi payung hukum bagi para UMKM dalam menjalankan kewajiban perpajakannya.
Dirjen Pajak Bimo Wijayanto sempat mengatakan Kemenkeu telah berkoordinasi dengan kementerian terkait untuk merevisi PP 55/2022.
"Kami sudah koordinasi dengan kementerian yang terkait, Kemenko Perekonomian dan Kementerian UMKM. Izin prakarsa sudah diberikan oleh presiden melalui Kementerian Sekretariat Negara tanggal 25 Agustus," ujar Bimo.
Selain informasi mengenai perpanjangan PPh final UMKM, ada juga sejumlah informasi yang menarik untuk diulas kembali. Di antaranya, update tentang tarif cukai rokok untuk tahun depan, revisi Undang-Undang (UU) tentang BUMN, pajak atas Netflix cs, hingga kabar masih tingginya dana mengendap di bank.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) melaporkan bahwa kondisi industri hasil tembakau (IHT) saat ini tengah tertekan akibat tarif cukai yang tinggi dan maraknya rokok ilegal.
Wakil Menteri Perindustrian Faisol Riza mengatakan rencana Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menahan tarif cukai rokok pada 2026 bagaikan angin segar bagi IHT nasional. IHT kini mendapatkan kepastian dan tidak perlu khawatir akan kenaikan tarif pungutan cukai.
"Itu [cukai tidak naik] adalah salah satu upaya pemerintah untuk melakukan relaksasi terhadap industri yang sedang tertekan sekarang ini karena kondisi bermacam-macam," katanya.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menilai wajar pro dan kontra yang muncul atas rencana kebijakannya mempertahankan tarif cukai hasil tembakau atau cukai rokok pada 2026.
Purbaya mengatakan kebijakan tidak mengerek tarif cukai rokok ditempuh guna melindungi industri hasil tembakau (IHT) nasional. Sebab, sektor tersebut berkontribusi signifikan dalam menyerap tenaga kerja.
"Setiap kebijakan 'kan ada pro dan kontra, ada yang suka dan enggak. Cuma kita lihat yang mana yang paling bermanfaat buat ekonomi dan masyarakat itu yang kita kerjakan," ujarnya.
Pemerintah dan Komisi VI DPR sepakat untuk memasukkan 1 pasal khusus terkait perpajakan dalam revisi atas UU BUMN.
Pasal dimaksud adalah Pasal 89A yang mengatur secara khusus tentang perlakuan pajak atas transaksi yang melibatkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara), holding investasi, holding operasional, dan entitas yang dimilikinya.
"Perlakuan perpajakan atas transaksi yang melibatkan badan, holding operasional, holding investasi, atau pihak ketiga yang diatur dalam peraturan pemerintah (PP)," ujar Wakil Ketua Komisi VI Andre Rosiade membacakan kesimpulan rapat.
Pemerintah hingga saat ini belum memungut pajak atas penghasilan yang diperoleh perusahaan raksasa digital seperti Netflix, Google, dan Facebook dari berjualan layanan jasa di Indonesia.
Analis Senior Kebijakan Fiskal DJSEF Kementerian Keuangan Melani Dewi Astuti mengatakan pemerintah harus menerbitkan payung hukum terlebih dahulu, yang khusus mengakomodasi pemajakan terhadap sektor ekonomi digital. Menurutnya, penerbitan regulasi merupakan langkah paling fundamental.
"Sampai sekarang Indonesia tidak punya dasar hukum mengenakan pajak atas penghasilan PMSE [perdagangan melalui sistem elektronik] luar negeri dari konsumen di Indonesia. Kalau jenis pajak lain, digital services tax atau DST juga tidak [diterapkan]," ujarnya.
Kemenkeu menyoroti ada beberapa faktor yang menyebabkan realisasi belanja daerah cenderung lambat sehingga dana pemda banyak mengendap di perbankan.
Dirjen Perbendaharaan Kemenkeu Astera Primanto Bhakti menyebut dana pemda yang mengendap di perbankan secara akumulatif mencapai Rp233,11 triliun per Agustus 2025. Menurutnya, kondisi dana yang mengendap ini sudah menjadi masalah menahun.
"Dana pemda Rp233 triliun masalahnya apa? Ini sudah masalah lama. Sebetulnya hampir sama dengan pusat, mereka [pemda] perencanaan APBN biasanya dilakukan September-Oktober tahun sebelumnya, dari situ mereka baru mulai berkontrak," katanya. (sap)