Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Asean+3 Macroeconomic Research Office (AMRO) mendorong Indonesia untuk meningkatkan efisiensi pemungutan PPN.
Pemungutan PPN Indonesia dinilai belum efisien akibat tingginya threshold pengusaha kena pajak (PKP) serta banyaknya barang dan jasa yang terbebas dari pengenaan PPN. Pemungutan PPN yang tak efisien tercermin pada C-efficiency PPN Indonesia yang masih rendah.
"Efisiensi pemungutan PPN dapat ditingkatkan dengan menurunkan threshold PKP serta mengevaluasi barang dan jasa yang dibebaskan dari PPN," tulis AMRO dalam Annual Consultation Report: Indonesia - 2025, dikutip pada Senin (23/6/2025).
Saat ini, threshold PKP yang berlaku di Indonesia adalah senilai Rp4,8 miliar atau kurang lebih US$315.000. Sebagai perbandingan, threshold PKP di negara tetangga ditetapkan lebih rendah dari US$55.000.
Pemerintah menetapkan threshold PKP tersebut untuk meringankan beban kepatuhan pajak serta untuk meningkatkan daya saing UMKM Indonesia. Dengan berkurangnya beban kepatuhan, UMKM diharapkan terus bertumbuh dan berekspansi.
Masalahnya, pelaku usaha justru secara sengaja menjaga omzetnya di bawah Rp4,8 miliar per tahun agar terhindar dari kewajiban untuk dikukuhkan sebagai PKP dan memungut PPN. Tindakan ini menghambat pertumbuhan ekonomi dan menimbulkan inefisiensi pengumpulan pajak.
Berdasarkan catatan AMRO, saat ini Indonesia sedang mengevaluasi threshold PKP yang saat ini berlaku. "Pemerintah mempertimbangkan saran para pakar untuk menurunkan threshold PKP dan mengadakan diskusi internal terkait isu tersebut," tulis AMRO.
Sebagai informasi, wajib pajak pelaku usaha yang omzetnya belum mencapai Rp4,8 miliar per tahun berhak memanfaatkan skema PPh final UMKM dengan tarif sebesar 0,5% dan terbebas dari kewajiban untuk dikukuhkan sebagai PKP.
Pada akhir tahun lalu, pemerintah sempat berencana menurunkan threshold dari Rp4,8 miliar menjadi Rp3,6 miliar. Namun, belakangan DJP membantah rencana tersebut.
"Sampai saat ini pemerintah tidak berencana untuk menurunkan batasan omzet bagi pengusaha untuk menggunakan tarif PPh 0.5% maupun sebagai batasan untuk dikukuhkan sebagai PKP, dari Rp4,8 miliar per tahun menjadi Rp3,6 miliar per tahun," ungkap DJP dalam keterangan resmi yang dirilis pada Desember 2024. (dik)