BERITA PAJAK SEPEKAN

DJP Periksa Data Lain Meski Pemeriksaan Disetop, Klaim Coretax Membaik

Redaksi DDTCNews
Sabtu, 22 Maret 2025 | 07.30 WIB
DJP Periksa Data Lain Meski Pemeriksaan Disetop, Klaim Coretax Membaik

JAKARTA, DDTCNews - Ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 15/2025 masih menjadi perhatian bagi publik. Beleid ini memberi kewenangan bagi dirjen pajak untuk melakukan pemeriksaan pajak atas suatu pemeriksaan yang dihentikan. 

Sesuai dengan ketentuan, pemeriksaan untuk menguji kepatuhan bisa ditangguhkan dan kemudian dihentikan dalam kondisi tertentu. Nah, dirjen pajak masih dapat melakukan pemeriksaan atas pemeriksaan yang dihentikan tersebut, tetapi hanya untuk menguji data selain yang sudah diungkapkan/diputus oleh pengadilan.

“Dirjen pajak masih dapat melakukan pemeriksaan setelah pemeriksaan dihentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) [pemeriksaan yang ditangguhkan kemudian dihentikan],” bunyi penggalan Pasal 23 ayat (13) PMK 15/2025.

Secara lebih terperinci, pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat ditangguhkan dalam hal ditemukan adanya dugaan tindak pidana perpajakan. Temuan itu kemudian ditindaklanjuti dengan pemeriksaan bukti permulaan (bukper) atau penyidikan tindak pidana perpajakan.

Pemeriksaan yang ditangguhkan tersebut akan dihentikan apabila ada di antara 4 kondisi. Pertama, pemeriksaan bukper dihentikan karena wajib pajak mengungkapkan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UU KUP dan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan tersebut telah sesuai dengan keadaan sebenarnya.

Kedua, penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dihentikan karena wajib pajak melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 44A UU KUP, atau wajib pajak atau tersangka melakukan pelunasan sebagaimana diatur dalam Pasal 44B UU KUP.

Ketiga, pemeriksaan bukper atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dihentikan karena telah daluwarsa. Keempat, terdapat putusan pengadilan atas tindak pidana di bidang perpajakan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (selain putusan pengadilan yang memutus bebas/lepas) dan salinan putusan pengadilan tersebut telah diterima oleh dirjen pajak.

Berdasarkan PMK 15/2025, dirjen pajak masih dapat melakukan pemeriksaan setelah pemeriksaan dihentikan karena alasan-alasan di atas. Namun, pemeriksaan dilakukan dengan menguji data selain yang telah diungkapkan wajib pajak atau hasil putusan pengadilan. 

Selanjutnya, pemberitaan mengenai coretax system juga masih menjadi perhatian. DJP mengeklaim kinerja coretax system sudah jauh membaik. 

Melalui Keterangan Tertulis Nomor KT-11/2025, DJP mengeklaim telah melakukan peningkatan kinerja coretax system. Hal ini dibuktikan dengan turunnya waktu tunggu atau latensi yang dialami wajib pajak ketika mengakses menu layanan pada Coretax DJP.

"Berdasarkan hasil evaluasi dan pemantauan, Coretax DJP telah mengalami peningkatan kinerja sistem, khususnya pada proses login, registrasi, penerbitan faktur pajak, pelaporan SPT, dan pembuatan bukti potong," sebut DJP.

Contoh, latensi login turun dari 4,1 detik pada awal Februari menjadi tinggal 12 milidetik. Latensi registrasi juga turun dari 5,8 detik menjadi 45 milidetik, sedangkan latensi penerbitan faktur turun dari 10 detik menjadi 1,46 detik.

Kemudian, latensi pelaporan SPT tercatat turun dari 29,28 detik menjadi 3,93 detik, sedangkan latensi pembuatan bukti potong turun dari 16,6 detik menjadi tinggal 0,29 detik.

DJP juga melakukan sejumlah penyempurnaan kinerja Coretax DJP. Misal, penyempurnaan proses prepopulasi dan validasi SPT Masa PPh 21/26, proses regenerate dokumen, validasi retur faktur pajak, hingga proses validasi data saat aktivasi akun.

Selain 2 informasi di atas, masih ada beberapa pemberitaan yang menarik untuk diulas kembali. Di antaranya, target kepatuhan formal yang menurun pada tahun ini, desakan Ikatan Dokter Anak Indonesia kepada menteri keuangan terkait dengan ketentuan PPh Pasal 21, hingga opsi diteruskannya penggunaan e-faktur. 

Berikut ini ulasan artikel perpajakan selengkapnya. 

Kepatuhan Formal Tahun Ini Turun

DJP menargetkan rasio kepatuhan wajib pajak dalam menyampaikan SPT Tahunan atau kepatuhan formal sebesar 81,92% pada tahun ini.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Astuti mengatakan otoritas akan melaksanakan berbagai langkah untuk mencapai target rasio kepatuhan formal tersebut. Meski begitu, target tersebut lebih rendah dari rasio kepatuhan formal pada tahun lalu sebesar 85,75%.

"DJP akan melakukan berbagai upaya untuk mendorong kepatuhan SPT Tahunan PPh," katanya. (DDTCNews)

Ikatan Dokter Anak Desak Revisi Aturan PPh 21

Sebanyak 5.496 dokter spesialis anak yang tergabung dalam Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) meminta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk menyesuaikan ketentuan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima dokter.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 168/2023, PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima dokter dikenakan berdasarkan penghasilan bruto sebelum dikurangi bagi hasil dengan rumah sakit dan biaya operasional.

"Hal ini berdampak negatif bagi dokter yang mayoritas memberikan layanan kepada pasien JKN," tulis IDAI dalam surat yang ditujukan kepada menteri keuangan. (DDTCNews)

Penggunaan e-Faktur Berpotensi Dilanjutkan

DJP membuka opsi untuk terus membuka e-faktur sebagai sarana bagi pengusaha kena pajak (PKP) untuk membuat faktur pajak.

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak Iwan Djuniardi mengatakan keberlanjutan dari penggunaan e-faktur sebagai aplikasi untuk membuat faktur pajak akan ditentukan setelah dilakukannya evaluasi.

"E-faktur belum diputuskan untuk dilepas. Nanti akan kita evaluasi dulu. Ini kan behaviour wajib pajak. Kalau bagus buat wajib pajak, ya enggak papa jalanin saja," ujar Iwan. (DDTCNews)

Pemeriksaan Lewat Batas Waktu Bukan Dasar Pembatalan SKP

DJP berpandangan pengaturan jangka waktu pemeriksaan pajak sesungguhnya hanyalah berfungsi sebagai alat monitoring dan kontrol manajemen.

Dengan demikian, pemeriksaan pajak yang melampaui jangka waktu tidak bisa menjadi dasar untuk menghentikan pemeriksaan atau membatalkan surat ketetapan pajak (SKP). Hal ini telah diperkuat oleh Putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) Nomor 1633/B/PK/Pjk/2024.

"MA sudah menerbitkan putusan PK yang memiliki kekuatan hukum tetap. Sesuai aturan yang berlaku, masalah ini seharusnya tidak perlu lagi dilakukan gugatan karena MA sudah memutus," ujar Kepala Subdirektorat Teknik dan Pengendalian Pemeriksaan Ditjen Pajak (DJP) Andri Puspo Heriyanto. (DDTCNews)

Jebloknya Penerimaan Pajak Awal Tahun Dipandang Tak Wajar

Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menilai penerimaan pajak tidak semestinya mengalami kontraksi ketika kinerja kepabeanan dan cukai masih mampu tumbuh hingga Februari 2025.

Misbakhun mengatakan penerimaan pajak serta kepabeanan dan cukai biasanya memiliki tren serupa karena sama-sama dipengaruhi aktivitas ekonomi masyarakat. Sementara untuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dianggap wajar mengalami kontraksi karena terpengaruh penurunan harga komoditas di pasar global.

"Karena penerimaan bea cukai naik, sebenarnya tidak sewajarnya penerimaan pajaknya turun. Kalau ada penerimaan pajak turun, pasti ada problem technical coretax yang belum bisa kita jelaskan di mana letak permasalahan yang sebenarnya," katanya. (DDTCNews) (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.