Founder DDTC Darussalam dalam Investor Daily Talk, Selasa (10/12/2024).
JAKARTA, DDTCNews - Kenaikan tarif PPN dinilai menjadi momentum yang baik bagi pemerintah untuk membenahi penggunaan uang pajak.
Founder DDTC Darussalam mengatakan kenaikan tarif PPN berarti menambah beban pajak pada masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah dapat mempertukarkan kebijakan kenaikan tarif PPN ini dengan komitmen membelanjakan uang pajak secara lebih bijak.
"Kenaikan tarif PPN ini seharusnya dapat dipertukarkan dengan narasi masyarakat yang menuntut penggunaan uang pajak secara bijak. Dengan kenaikan tarif, kita juga ingin pemerintah menggunakan uang pajak dengan bijak," katanya dalam program Investor Daily Talk, Selasa (10/12/2024).
Darussalam mengatakan kenaikan tarif PPN dapat menjadi momentum untuk mendesain earmarking atas penerimaan yang dihasilkan dari penyesuaian tarif PPN. Mekanisme earmarking dapat menjadi solusi yang baik sehingga atas dampak yang diterima oleh kelompok masyarakat tertentu, terdapat suatu komitmen anggaran untuk membantu mereka.
Mekanisme earmarking atas penerimaan PPN telah diterapkan di beberapa negara. Misal Italia yang mengalokasikan 38,5% dari penerimaan PPN untuk asuransi kesehatan, serta Ghana yang mengalokasikan 2,5% dari tarif PPN yang mencapai 17,5% untuk sektor kesehatan.
Indonesia dapat meniru penerapan mekanisme earmarking atas tambahan penerimaan dari kenaikan tarif pajak ini. Apabila kenaikan tarif PPN jadinya hanya 12% menyasar barang mewah, earmarking antara lain dapat ditujukan untuk mendorong pengembangan sektor kendaraan bermotor.
"Kalau ini dijadikan momentum, saya yakin ke depan ketika ada lagi perubahan undang-undang perpajakan yang menambah beban bagi masyarakat, masyarakat akan secara ikhlas tidak mempermasalahkan karena manfaatnya dinikmati langsung," ujarnya.
Kemudian, kenaikan tarif PPN juga dapat menjadi momentum untuk mendorong adanya sistem PPN di Indonesia agar lebih lebih netral dan berkepastian. Caranya dengan mengadopsi sistem restitusi PPN secara lebih cepat dan berkepastian, mengingat sistem restitusi PPN di Indonesia relatif masih belum memberikan kepastian.
Darussalam menyebut kenaikan tarif dari 11% menjadi 12% hanya atas barang-barang mewah sebagai babak baru PPN multitarif di Indonesia. Menurutnya, konsep multitarif dapat dibenarkan sepanjang untuk membuat sistem PPN menjadi lebih adil. Konsep PPN multitarif juga telah diterapkan di beberapa negara.
UU PPN sebenarnya telah mendefinisikan barang kena pajak yang tergolong mewah sebagai barang yang bukan merupakan barang kebutuhan pokok; barang yang dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; barang yang pada umumnya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; dan/atau barang yang dikonsumsi untuk menunjukkan status.
Kemudian, PMK 42/2022 dan PMK 15/2023 mengatur jenis barang yang tergolong mewah beserta tarif pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) yang dikenakan. Secara umum, barang kena pajak yang tergolong mewah tersebut terbagi dalam kelompok kendaraan bermotor dan selain kendaraan bermotor.
Dengan pengaturan barang kena pajak yang tergolong mewah menjadi hanya 2 kelompok tersebut, PPN multitarif dinilai dapat diterapkan di Indonesia.
"Klasifikasi barang mewah sekarang lebih sederhana sehingga menurut saya dalam kontek pengawasan dan implementasinya juga tidak begitu menyulitkan," imbuhnya.
Meski demikian, pemerintah juga perlu memperhatikan dampak kenaikan tarif PPN hanya untuk barang mewah ini terhadap APBN. Sebab, penetapan target APBN 2025 telah menggunakan asumsi tarif PPN sebesar 12% yang berlaku umum.
Seperti diketahui, pemerintah bersama DPR akhirnya memutuskan kenaikan PPN menjadi 12% hanya berlaku atas barang-barang mewah. Kebijakan itu diambil setelah wacana kenaikan PPN memantik polemik di tengah masyarakat. Nantinya, pemerintah masih perlu menerbitkan peraturan pemerintah (PP) yang akan memerinci barang mewah sebagai objek pajak yang dikenai PPN 12%. (sap)