Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
JAKARTA, DDTCNews - Mahkamah Konstitusi (MK) meminta pemerintah untuk memberikan penjelasan lebih terperinci terkait dengan penatapan tarif pajak barang dan jasa tertentu (PBJT). Pemerintah diminta menjelaskan landasan diberlakukannya tarif PBJT sebesar 40% hingga 75% terhadap jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih ingin tahu perbedaan antara diskotek, karaoke, kelab malam, bar, serta mandi uap/spa yang dikenai tarif PBJT sebesar 40% hingga 75% dan jasa hiburan lainnya yang dikenai PBJT hanya sebesar 10%.
"Kalau penjelasan Pak Dirjen [Perimbangan Keuangan Luky Alfirman] tadi ini soal prestise, gaya hidup, status sosial. Kalau dilihat Pasal 55 [UU HKPD], jenis kesenian dan hiburan itu jumlahnya cukup banyak, ini bisa tidak kemudian yang lain-lain itu tidak dikaitkan dengan gaya hidup? Bisa jadi yang lain itu juga berkaitan dengan gaya hidup yang tadi dijelaskan [pemerintah]," ujar Enny dalam sidang pengujian materiil UU HKPD di MK, dikutip pada Jumat (12/7/2024).
Bila jasa hiburan selain diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ternyata juga memiliki keterkaitan dengan prestise dan gaya hidup, pengenaan PBJT 40% hingga 75% atas kelima jasa hiburan khusus tersebut menjadi tidak pas.
"Misalnya, kontes kecantikan atau ketangkasan dan sebagainya, artinya ada beberapa yang kemudian reasoning mengenai prestise dan lifestyle itu mungkin agak kurang pas saya kira ya untuk menjadi dasar untuk meningkatkan tarif tersebut. Apakah ada landasan filosofis yang bisa meyakinkan kami bahwa memang perubahan itu diperlukan di situ?" kata Enny kepada pihak pemerintah.
Untuk diketahui, UU HKPD mengatur jasa hiburan dikenai PBJT oleh pemerintah kabupaten/kota (pemkab/pemkot) dengan tarif maksimal 10%. Namun, khusus jasa hiburan di diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa, tarif PBJT yang dikenakan adalah sebesar 40% hingga 75%.
Menurut pemerintah, tarif lebih tinggi atas jasa hiburan di kelab malam, diskotek, karaoke, bar, dan mandi uap/spa sudah memenuhi aspek keadilan vertikal. Pasalnya, jasa-jasa tersebut hanya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi.
Konsumsi kelima jasa tersebut juga diyakini tidak akan turun meski beban pajaknya tinggi. "Konsumen akan tetap membeli barang walau harganya naik, termasuk akibat pajak, sepanjang barang atau jasa itu memberikan utilitas lain berupa prestise, gaya hidup, dan status sosial," ujar Luky.
Merespons tarif PBJT khusus tersebut, terdapat 3 pihak yang mengajukan pengujian materiil ke MK yakni Perhimpunan Pengusaha Husada Tirta Indonesia, PT Imperium Happy Puppy, dan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI).
Secara khusus, Perhimpunan Pengusaha Husada Tirta Indonesia meminta MK untuk menyatakan frasa 'mandi uap/spa' pada Pasal 58 ayat (2) UU HKPD bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Sementara itu, PT Imperium Happy Puppy meminta MK untuk menyatakan Pasal 58 ayat (2) UU HKPD bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke namun dikecualikan terhadap karaoke keluarga, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%'.
GIPI juga meminta MK untuk menyatakan Pasal 58 ayat (2) UU HKPD bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Dengan demikian, seluruh jenis jasa hiburan seharusnya dikenai PBJT dengan tarif yang sama, yaitu maksimal 10%. (sap)