Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) mencatat ada 24 kasus yang dilakukan penghentian penyidikan sesuai dengan Pasal 44B UU KUP.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Astuti mengatakan jumlah wajib pajak yang mengajukan permintaan penghentian penyidikan memang meningkat dalam 3 tahun terakhir. Menurutnya, hal itu salah satunya disebabkan oleh penerapan metode proporsi dalam penghitungan kerugian pada pendapatan negara yang dibebankan kepada wajib pajak.
"Meningkatnya jumlah wajib pajak yang memanfaatkan ultimum remedium dengan mengajukan permintaan penghentian penyidikan sesuai Pasal 44B UU KUP tersebut dilatarbelakangi oleh adanya penerapan metode proporsi dalam penghitungan kerugian pada pendapatan negara yang dibebankan kepada wajib pajak dan/atau tersangka," katanya, dikutip pada Kamis (4/4/2024).
Dwi mengatakan wajib pajak yang memanfaatkan ultimum remedium berdasarkan Pasal 44B UU KUP terus meningkat. Peningkatan itu terjadi sejalan dengan implementasi ketentuan baru terkait ultimum remedium dalam pidana pajak yang diatur dalam UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Peningkatan jumlah wajib pajak yang mengajukan permintaan penghentian penyidikan ini terjadi sejak 2021. Pada 2021, jumlah wajib pajak yang memanfaatkan ultimum remedium Pasal 44B UU KUP sebanyak 10 wajib pajak, kemudian meningkat sebesar 60% menjadi 16 wajib pajak pada 2022.
Adapun pada 2023, wajib pajak yang memanfaatkan ultimum remedium Pasal 44B UU KUP kembali meningkat sebesar 50% menjadi sebanyak 24 wajib pajak.
"Faktor lain yang juga mendorong pemanfaatan ultimum remedium pada tahap penyidikan adalah adanya ketentuan Pasal 44C UU KUP yang mengatur tentang pidana denda wajib dibayar oleh terpidana," ujar Dwi.
Pada tahap penyidikan, ultimum remedium diimplementasikan dalam bentuk pembayaran pokok pajak dan sanksi administratif Pasal 44B ayat (2) UU KUP sebesar 100% untuk kealpaan, 300% untuk kesengajaan, dan 400% untuk bupot/bukti setoran/faktur pajak fiktif. (sap)