Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) menilai PMK 79/2023 diterbitkan untuk mengatur lebih lanjut tentang mekanisme penilaian yang tersebar pada beragam undang-undang perpajakan. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Kamis (23/11/2023).
Penilai Ahli Madya Direktorat Ekstensifikasi dan Penilaian DJP Majdi Ali memberi contoh kebutuhan untuk melakukan penilaian terhadap harga perolehan dalam jual-beli yang dipengaruhi hubungan istimewa. Penilaian itu belum sepenuhnya diatur secara eksplisit dalam UU PPh.
"Kalau ada jual-beli terkait hubungan istimewa maka menggunakan nilai yang seharusnya. Kata 'yang seharusnya' ini merupakan konsep dari nilai pasar. Nilai pasar ini secara eksplisit di undang-undang mungkin ada, tetapi definisinya belum ada," katanya.
Selain untuk melaksanakan penilaian yang diamanatkan dalam UU PPh, PMK 79/2023 juga menjadi dasar bagi penilai di DJP untuk melaksanakan penilaian yang diamanatkan oleh UU PBB, UU PPN, dan UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP).
Dengan adanya PMK 79/2023, terdapat alur dan proses bisnis bagi fiskus untuk melaksanakan penilaian untuk keperluan pengawasan, pemeriksaan, pemeriksaan bukper, penyidikan, hingga penagihan.
"Kegiatan penilaian inilah yang diatur dalam PMK 79/2023. Jadi, penilaian yang ada sesungguhnya mengakomodasi seluruh pasal dalam undang-undang, baik PBB, PPh, PPN, dan seterusnya. Namun, tetap dalam kerangka yang itu merupakan proses bisnis utamanya wajib pajak," ujar Majdi.
Selain mengenai penilaian, ada pula ulasan terkait dengan pajak atas natura dan/atau kenikmatan. Kemudian, ada juga ulasan mengenai alokasi dana bagi hasil cukai hasil tembakau.
Penilai Ahli Madya Direktorat Ekstensifikasi dan Penilaian DJP Majdi Ali memberi contoh ketika dilakukan pengawasan terhadap penjualan aktiva oleh wajib pajak kepada pihak afiliasinya, penilaian atas nilai jual oleh penilai bersama account representative (AR) menggunakan mekanisme pengawasan.
"Hasil dari penilaian akan ditindaklanjuti oleh proses bisnis tadi, pengawasan, pemeriksaan, dan seterusnya. Jadi, sebagai wajib pajak misalnya, kalau dia menerima SP2DK dan diimbau ternyata ada kurang bayar, bisa jadi karena penilaian ini," tutur Majdi.
Sesuai dengan PMK 79/2023, penilaian atas harta berwujud, harta tidak berwujud, dan bisnis dilakukan untuk melaksanakan ketentuan dalam UU PPh, UU PPN, dan UU PPSP.
Untuk penilaian NJOP dalam rangka melaksanakan UU PBB, penilaian dilakukan dengan mengacu pada PMK 186/2019. PMK 79/2023 telah diundangkan pada 24 Agustus 2023 dan berlaku setelah 30 hari terhitung sejak tanggal tersebut. Artinya, PMK ini sudah berlaku sejak September 2023. (DDTCNews)
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Astuti mengingatkan bahwa Pasal 23 ayat (4) PMK 66/2023 mengatur imbalan sehubungan dengan pekerjaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang diterima pada masa pajak Januari hingga Juni 2023 dikecualikan dari pemotongan pajak.
Nantinya, PPh yang terutang atas natura dan kenikmatan tersebut harus dihitung sendiri oleh wajib pajak penerima, lalu disetor dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.
"Atas penghasilan berupa natura dan/atau kenikmatan yang belum dilakukan pemotongan PPh 21 maka PPh yang terutang wajib dihitung dan dibayar sendiri serta dilaporkan oleh penerima natura dan/atau kenikmatan dalam SPT Tahunan PPh," ujar Dwi. (DDTCNews)
Penilai Ahli Madya Direktorat Ekstensifikasi dan Penilaian DJP Majdi Ali secara umum, PMK 79/2023 mengatur bahwa penilaian terhadap suatu objek dilakukan menggunakan 1 pendekatan saja. Suatu pendekatan dipilih mempertimbangkan objek penilaian dan ketersediaan data.
"Tidak sepenuhnya mengacu ke SPI (Standar Penilaian Indonesia), di PMK 79/2023 kita nyatakan bahwa sebenarnya penilaian itu hanya menggunakan 1 pendekatan. Jadi, melihat dari sisi objek dan ketersediaan data. Kami melihat harusnya cukup 1 saja secara umum," ujar Majdi.
Dengan penerapan 1 pendekatan atau metode dalam melakukan penilaian, potensi sengketa antara fiskus dan wajib pajak diharapkan bisa diminimalisasi.
"Mungkin standar perlu 3 atau minimal 2 [pendekatan], termasuk POJK juga. Namun, kami ingin meminimalkan dispute dengan wajib pajak, jadi berangkatnya dari sudut pandang yang sama. Kalau ketersediaan datanya seperti ini maka pendekatannya begini dan metodenya ini, itu dieksplisitkan," ujar Majdi. (DDTCNews)
Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) turut mendorong optimalisasi pemanfaatan dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBH CHT) di daerah. Kepala Subdirektorat Humas dan Penyuluhan DJBC Encep Dudi Ginanjar mengatakan pemanfaatan DBH CHT harus dilakukan berdasarkan PMK 215/2021.
Encep menuturkan PMK 215/2021 mengatur alokasi DBH CHT terbagi dalam beberapa bidang, antara lain kesejahteraan masyarakat, penegakan hukum, dan kesehatan. Porsi terbesar alokasi DBH CHT ini diberikan pada bidang kesejahteraan masyarakat sebesar 50%.
Dari porsi 50% tersebut, 20% dipakai untuk meningkatkan kualitas bahan baku hingga pembinaan industri. Lalu, 30% sisanya untuk pemberian bantuan. Sementara itu, alokasi DBH CHT untuk kesehatan ditetapkan sebesar 40%, dan penegakan hukum 10%. (DDTCNews)
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mencatat mulai stabilnya rata-rata tarif statutori (statutory tax rate) PPh badan dalam 3 tahun terakhir. Padahal, pada 2 dekade sebelumnya, yakni pada 2000 hingga 2020, ada tren penurunan tarif.
“Rata-rata tarif pajak gabungan pada 141 yurisdiksi anggota Inclusive Framework menurun drastis dari 28,1% pada 2000 menjadi 21,3% pada 2020. Namun, tarif tetap terjaga sebesar 21,1% pada 2021, 2022, dan 2023," tulis OECD dalam laporan Corporate Tax Statistics 2023. (DDTCNews) (kaw)