Tampilan sampul muka Indonesia Taxation Quarterly Report (Q3-2019).
JAKARTA, DDTCNews – Penguatan peran ombudsman dalam perpajakan dibutuhkan untuk menjamin pemenuhan hak wajib pajak. Selain itu, ombudsman bisa berperan menjembatani wajib pajak dan otoritas, terutama dalam penyelesaian sengketa.
Hal ini menjadi salah satu bahasan dalam Indonesia Taxation Quarterly Report (Q3-2019) bertajuk ‘Strengthening Tax Ombudsman Role in Tax System’ yang dirilis hari ini, Selasa (26/11/2019). Untuk mendapatkan laporan tersebut, silakan download di sini.
DDTC Fiscal Research memaparkan pembentukan ombudsman perpajakan di banyak negara biasanya dimulai dengan reformasi perpajakan. Dalam konteks reformasi perpajakan, dibutuhkan keseimbangan antara pemenuhan hak-hak wajib pajak dan kekuatan otoritas untuk menciptakan tata kelola administrasi yang efektif.
Dengan demikian, pergeseran paradigma wajib pajak dari patuh karena terpaksa (enforced tax compliance) menuju patuh dengan sukarela (voluntary compliance) akan bisa lebih mudah dilakukan. Dalam konteks ini, penguatan peran ombudsman menjadi penting.
“Penguatan peran ombudsman akan mengubah persepsi wajib pajak terhadap otoritas pajak. Hal ini disebabkan masyarakat akan menyadari bahwa pemenuhan hak-haknya sebagai wajib pajak menjadi lebih diperhatikan dan diprioritaskan,” demikian pernyataan DDTC Fiscal Research dalam laporan tersebut.
Ombudsman pajak, pada dasarnya, adalah bentuk representasi bagi wajib pajak untuk menjamin hak-hak mereka. Di Indonesia, peran ombudsman dalam perpajakan dijalankan oleh Komite Pengawas Perpajakan (Komwasjak).
Pembahasan yang komprehensif mengenai perspektif tentang bagaimana peran ombudsman perpajakan Indonesia harus diperkuat disajikan dalam bab II laporan ini. Selain itu, ada dua topik lain yang menjadi bahasan dalam laporan rutin kuartalan DDTC Fiscal Research tersebut.
Pada Bab I, seperti biasa, DDTC Fiscal Research mengulas perkembangan perpajakan Indonesia selama kuartal III. Ulasan dimulai dari pemaparan kinerja pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5,02% secara tahunan, melambat dibandingkan kuartal III/2018 sebesar 5,17%.
Selanjutnya, masih dalam bab yang sama, DDTC Fiscal Research memberikan ulasan mengenai kinerja fiskal, terutama dari sisi penerimaan pajak serta bea dan cukai. Khusus untuk pajak, hingga akhir September 2019, pertumbuhan penerimaan hanya mencapai 0,19% secara tahunan.
Ada pula pemaparan mengenai peningkatan peringkat Paying Taxes dalam Doing Business 2020 Indonesia. Selain itu, ada pula ulasan sedikit mengenai rencana pemerintah mengajukan omnibus law perpajakan dan perkembangan global, terutama menyangkut pajak digital.
Adapun pada Bab III, DDTC Fiscal Research mengulas topik mengenai kebutuhan terobosan untuk meningkatkan rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB). Apalagi, memasuki kuartal terakhir 2019, kinerja penerimaan pajak tampak tidak dapat melanjutkan tren positif tahun lalu.
DDTC Fiscal Research juga mengulas tawaran ‘resep’ yang disodorkan IMF dan OECD dalam proses reformasi perpajakan. Laporan ini merangkup kedua resep tersebut secara sistematis dan jelas. Lebih dari itu, dalam bab ini, dijelaskan juga bahwa solusi permasalahan perpajakan yang ada juga membutuhkan adanya perbaikan moral pajak dari masyarakat Indonesia sendiri.
“Untuk itu, perlu ada inisiatif dari pemerintah untuk membangun paradigma baru, di mana hubungan berbasis kepercayaan antara otoritas pajak dan wajib pajak harus menjadi pondasi berjalannya sistem pajak,” demikian pernyataan DDTC Fiscal Research dalam laporan tersebut.
Sekadar informasi, kehadiran Indonesia Taxation Quarterly Report (Q1-2019) menjadi wujud nyata salah satu visi DDTC yakni untuk mengeliminasi asimetri informasi pajak. Sebagai institusi pajak berbasis riset dan pengetahuan, laporan itu diharapkan juga berpengaruh dan berkontribusi bagi Indonesia dalam menentukan arah kebijakan pajaknya di masa mendatang. (kaw)