Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Sofyan Djalil.
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah membatalkan rencana pengenaan pajak progresif terhadap kepemilikan tanah lebih dari satu bidang. Pembatalan rencana yang awalnya dimasukkan dalam RUU Pertanahan ini menjadi sorotan beberapa media nasional pada hari ini, Kamis (19/9/2019).
Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Sofyan Djalil menyampaikan pembatalan tersebut saat menghadiri Rapat Koordinasi Nasional Bidang Properti Kadin Indonesia, Rabu (18/9/2019). Pembatalan dilatarbelakangi kekhawatiran pengusaha.
“Tadi ada kekhawatiran tentang pajak progresif dari pengusaha. Itu nanti dihilangkan [karena] istilahnya menakutkan orang,” katanya.
Padahal, sebelumnya, rencana pengenaan pajak progresif itu ditujukan untuk membuat penggunaan lahan semakin maksimal dan menutup celah spekulan tanah. Terlebih, pemerintah berencana memindahkan ibu kota. Kebijakan fiskal disebut-sebut menjadi penetral.
Sekarang, Sofyan mengatakan kehadiran pajak berisiko memberatkan pengusaha karena penjualan lahan membutuhkan waktu. Dia akan membawa usulan ke kementerian terkait. Sebab RUU Pertanahan yang menjadi domain Kementerian ATR, tidak dapat mengurusi perpajakan.
“UU tanah tidak bisa mengatur masalah pajak. Pajak harus diatur oleh UU-nya sendiri,” ujarnya.
Selain itu, beberapa media juga menyoroti sikap Ditjen Pajak (DJP) dalam merespons temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I/2019 terkait penyimpangan pelaksanaan ketentuan perpajakan.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Meski rencana pajak progresif dibatalkan, Menteri ATR Sofyan Djalil mengatakan RUU pertahanan diharapkan masih bisa menekan celah spekulan tanah. Apalagi pemerintah sudah melakukan sertifikasi tanah di hampir seluruh wilayah Indonesia.
“Spekulan dilarang sekarang. Kalau kamu menspekulasi itu dihukum pidana dan transaksi ada itu batal dari hukum,” ungkapnya.
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Properti Hendro S. Gondokusumo dalam mengatakan penerapan pajak progresif memang bertujuan agar penggunaan lahan dapat menjadi maksimal. Namun, aturan yang belum disosialisasikan tersebut menjadi kontraproduktif karena menimbulkan aneka penafsiran.
“Aturannya belum disosialisasikan dan masih dalam pembahasan justru menjadi kontraproduktif karena menimbulkan aneka penafsiran sehingga menimbulkan ketidakpastian yang tidak perlu,” jelasnya.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama mengaku temuan BPK akan menjadi bahan evaluasi otoritas pajak. Temuan tersebut juga akan menjadi acuan perbaikan.
Ada beberapa jenis penyimpangan yang menjadi temuan BPK. Dua diantaranya adalah status tanggal daluwarsa penagihan atas ketetapan pajak Rp408,5 miliar tidak diyakini kebenarannya serta penerbitan SKP dan STP 2018 yang melewati batas waktu penetapan sehingga penerimaan negeri senilai Rp257,95 miliar tidak dapat direalisasikan.
Hestu Yoga Saksama memaparkan rencana otoritas mengintegrasikan seluruh proses bisnis, mulai dari pendaftaran, pelaporan, pemeriksaan, termasuk penerbitan SKP atau STP dalam satu sistem informasi. Hal ini diharapkan mampu mengurangi potensi kesalahan-kesalahan hasil audit BPK.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Suahasil Nazara mengatakan rencana kebijakan terkait cukai hasil tembakau (CHT) baru terkait dengan kenaikan tarif dan harga jual eceran (HJE). Simplifikasi tarif CHT masih belum dibahas lebih lanjut.
“Simplifikasi belum dibahas. Kemarin itu soal tarif dan HJE,” ujarnya. (kaw)