BERITA PAJAK HARI INI

Soal Sistem Teritorial, DJP: Kita Matangkan Agar Tidak Kontraproduktif

Redaksi DDTCNews
Kamis, 12 September 2019 | 09.01 WIB
Soal Sistem Teritorial, DJP: Kita Matangkan Agar Tidak Kontraproduktif

Ilustrasi gedung DJP.

JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah menegaskan perubahan sistem pajak dari worldwide ke teritorial akan dilakukan secara selektif. Dengan demikian, pemerintah tidak akan mengadopsi sistem teritorial 100%. Hal ini menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Kamis (12/9/2019).

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama mengatakan pemerintah akan mengikuti benchmark negara-negara OECD. Mereka juga tidak menerapkan sistem teritorial murni (hybrid). Langkah ini juga dimaksudkan agar tidak muncul outbound capital.

“Tidak semua penghasilan [diperlakukan dengan sistem teritorial]. Kita akan menempatkannya nanti dalam konteks yang tepat. Kita maunya inbound capital, investasi masuk,” katanya.

Seperti diketahui, negara dengan sistem pajak teritorial hanya mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber atau dianggap bersumber dari negara/yurisdiksinya. Sementara itu, penghasilan yang bersumber dari luar negara tersebut (foreign income), tidak dikenakan pajak. (Baca konsep sistem pajak worldwide dan teritorial di sini)

Karena hanya mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber dari negaranya, ada potensi wajib pajak memindahkan penghasilan atau modal investasi ke luar negeri, terutama yang memiliki tarif pajak lebih rendah.

Rencananya, dalam RUU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk penguatan perekonomian, pemerintah akan memberlakukan sistem teritorial untuk pajak penghasilan (PPh) wajib pajak orang pribadi (WP OP).

Warga negara Indonesia maupun warga negara asing akan menjadi wajib pajak di Indonesia, tergantung dari lama tinggal di Indonesia dengan cut of date 183 hari. Jika sudah melebihi waktu tersebut, subjek pajak dikenakan rezim pajak teritorial.

Selain itu, beberapa media nasional juga menyoroti mulai berlakunya Peraturan Dirjen Pajak No.PER-13/PJ/2019 pada bulan ini. Dokumen pemberitahuan impor barang (PIB) menjadi salah satu dari 16 jenis dokumen yang dipersamakan dengan faktur pajak.

Berikut ulasan berita selengkapnya.

  • Tidak Kontraproduktif

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan pemerintah masih mengharapkan arus investasi masuk untuk menopang perekonomian nasional. Dengan demikian, sistem pajak yang diambil juga harus mendukung harapan itu.

“Ini nanti kita matangkan agar tidak kontraproduktif,” imbuhnya.

  • Dokumen PIB

PIB yang dipersamakan dengan faktur pajak mencakup PIB, PIB Khusus, pemberitahuan atas barang pribadi penumpang dan awak sarana pengangkut (customs declaration), pemberitahuan impor barang untuk ditimbun di tempat penimbunan berikat.

Ada pula pemberitahuan penyelesaian barang asal impor yang mendapat kemudahan impor tujuan ekspor (KITE), pemberitahuan impor barang dari tempat penimbunan berikat, surat penetapan pembayaran bea masuk, cukai, atau pajak atas barang kiriman; dan PIB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.

  • Syarat Penerima DID Diperketat

Pemerintah memperketat persyaratan bagi penerima dana insentif daerah (DID). Pemerintah menetapkan tiga kriteria utama, yaitu mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Penetapan Peraturan Daerah (Perda) APBD yang tepat waktu, serta penggunaan e-Government (e-budgeting dan e-procurement) yang baik.

Selain itu, kucuran DID juga mempertimbangkan sembilan kategori kinerja yang harus dicapai oleh daerah. Salah satu syarat baru yang tercakup dalam sembilan kategori kinerja tersebut adalah peningkatan ekspor dan investasi. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.