Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Rencana pemerintah untuk bisa mengambil penerimaan pajak atas aktivitas ekonomi digital menjadi sorotan beberapa media nasional pada hari ini, Jumat (6/9/2019). Rencana ini akan masuk dalam RUU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan.
Ada dua aspek yang diatur. Pertama, pemungutan dan penyetoran PPN atas impor barang tidak berwujud dan jasa. Kedua, pengenaan pajak atas penghasilan terkait transaksi elektronik di Indonesia oleh SPLN yang tidak memiliki physical presence di Tanah Air.
Untuk aspek pertama, sesuai ketentuan yang berlaku saat ini, pemungutan dan penyetoran dilakukan konsumen (pihak yang mengimpor) di dalam negeri dengan surat setoran pajak. Dalam RUU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan, pemerintah akan menunjuk SPLN.
SPLN (pedagang, penyedia jasa, dan platform luar negeri) akan ditunjuk untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN. Selain itu, SPLN dapat menunjuk perwakilan di Indonesia untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN atas nama SPLN.
Untuk aspek kedua, hingga saat ini belum ada ketentuan yang berlaku. Nantinya, dalam RUU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan, pemerintah akan menetapkan definisi bentuk usaha tetap (BUT) tidak hanya berdasarkan physical presence tapi juga significant economic presence.
"Kita tetap menunggu [konsensus global terkait pemajakan ekonomi digital yang dikoordinasikan oleh OECD] tapi kan kita harus siap-siap]," ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Suahasil Nazara.
Selain itu, beberapa media nasional juga menyoroti rekomendasi Bank Dunia kepada Indonesia dalam mengantisipasi efek resesi yang sudah terjadi di beberapa negara. Rekomendasi tersebut tertuang dalam laporan terbarunya bertajuk ‘Global Economic Risks and Implications for Indonesia’.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Staf Ahli Menkeu Bidang Kepatuhan Pajak Suryo Utomo mengatakan dalam konsep wajib pungut, perusahaan digital akan bertugas layaknya bendahara pemerintah, bukan pengusaha kena pajak (PKP). Konsep seperti ini, sambungnya, sudah dilakukan Australia.
Dia memastikan tidak akan ada perlakuan khusus dari pemerintah terhadap perusahaan-perusahaan multinasional tersebut. Sanksi juga tetap diberlakukan jika ada pelanggaran.
"Kalau terlambat setor ada mekanismenya dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Jadi betul-betul sama memungut pajak pada umumnya," kata Suryo.
Pemerintah bakal mengubah pengenaan sanksi administrasi atas bea meterai. Besaran sanksi administrasi yang akan masuk dalam rancangan revisi UU Bea Meterai nantinya akan mengacu pada UU KUP.
Sanksi sebesar 100% dari bea meterai yang terutang jika terjadi kurang bayar. Besaran sanksi itu lebih rendah dari yang berlaku saat ini sebesar 200% dari bea meterai yang terutang.
“Ini semacam simplifikasi karena sebelumnya sanksi administrasi 200% tercantum dalam UU, sekarang menginduk ke KUP,” katanya.
Dalam laporan ‘Global Economic Risks and Implications for Indonesia’, Bank Dunia merekomendasikan empat hal kepada Indonesia. Pertama, integrasi diri dengan global supply chain. Oleh karena itu, hambatan-hambatan nontarif yang berbelit dan menghabiskan waktu perlu dipangkas.
Kedua, pelonggaran daftar negatif investasi (DNI) sehingga investor asing bisa lebih fleksibel dalam menanamkan modalnya di Indonesia. Ketiga, pelonggaran pembatasan tenaga kerja asing agar industri bisa memperoleh SDM yang diperlukan.Keempat, perbaikan tumpang tindih dan kontradiksi peraturan antara pusat dan daerah agar investor mendapatkan kepastian. (kaw)