Ilustrasi gedung Kemenkeu.
JAKARTA, DDTCNews – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menerbitkan beleid terkait penentuan bentuk usaha tetap (BUT). Regulasi ini disebut-sebut akan membuat perusahaan over the top (OTT) asing sulit berkelit lagi dari pajak. Topik tersebut menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Jumat (5/4/2019).
Regulasi berupa Peraturan Menteri Keuangan No.35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap. Regulasi ini diteken Sri Mulyani pada 1 April 2019 dan resmi berlaku pada saat itu juga bersamaan dengan tanggal pengundangan.
“Seiring dengan meningkatnya perkembangan model usaha lintas negara yang melibatkan subjek pajak luar negeri, perlu memberikan kepastian hukum bagi subjek pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya di Indonesia,” demikian bunyi salah satu pertimbangan PMK tersebut.
Dalam pasal 4 disebutkan bahwa BUT merupakan bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi asing atau badan asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. Adapun kriteria yang dipenuhi adalah pertama, adanya suatu tempat usaha di Indonesia.
Kedua, tempat usaha bersifat permanen. Ketiga, tempat usaha digunakan oleh orang pribadi asing atau badan asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.
Namun, ada beberapa jenis bentuk usaha yang dianggap sebagai BUT meskipun tidak memenuhi kriteria tersebut. Pertama, proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan. Kedua, pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan.
Ketiga, orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas. Keempat, agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.
“Pengertian usaha atau kegiatan maencakup segala hal yang dilakukan untuk mendapatkan, menagih, atau memelihara penghasilan,” demikian bunyi pasal 4 ayat (3) beleid tersebut.
Karena ditetapkan sebagai BUT, mereka wajib memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Dengan demikian, orang atau badan asing wajib memenuhi kewajiban membayar pajak penghasilan (PPh) di Indonesia.
Selain itu, beberapa media nasional juga menyoroti topik terkait perluasan pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) 0% untuk ekspor jasa. Pelaku usaha menyambut baik langkah pemerintah karena dinilai mampu meningkatkan ekspor jasa dari Tanah Air.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama mengatakan adanya PMK tersebut menjadi aturan teknis yang dapat dipakai sebagai pedoman petugas pajak dalam menentukan BUT.
“UU PPh sudah mengatur BUT. Dengan PMK baru, petugas pajak memiliki guidance pasti orang atau badan asing yang melalukan BUT,” kata Hestu.
Dalam PMK 35/2019 diatur bahwa tempat usaha mencakup segala jenis tempat, ruang, fasilitas, atau instalasi, termasuk mesin atau peralatan, yang digunakan orang pribadi asing atau badan asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.
Hal tersebut dapat dapat berupa tempat kedudukan manajemen; cabang perusahaan; kantor perwakilan; gedung kantor; pabrik; bengkel; gudang; ruang untuk promosi dan penjualan; pertambangan dan penggalian sumber alam; serta wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
Ada pula perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan; dan komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha melalui internet.
Wakil Sekretaris Jenderal Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia Errika Ferdinata mengatakan perluasan PPN 0% ekspor jasa dapat berdampak pada peningkatan ekspor jasa konsultansi konstruksi dan konsultansi desain dan perancang.
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia Shinta W. Kamdani mengatakan dalam dunai perdagangan, jasa tidak dikenai pajak maupun tarif ketika berpindah dari suatu negara ke negara lain. Sehingga langkah pemerintah tepat.
“Pengenaan pajak atas jasa juga rentan terhadap praktik double taxation yang dihindari banyak negara karena akan membebani daya saing pelaku usaha dan merugikan konsumen jasa,” katanya.