JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak merilis Surat Edaran (SE) No. SE-15/PJ/2018 tentang Kebijakan Pemeriksaan. Aturan ini menjadi penyempurnaan aturan teknis pemeriksaan sebelumnya yang diatur dalam SE-06/PJ/2016 tentang Kebijakan Pemeriksaan dan SE-25/PJ/2015 tentang Kebijakan Pemeriksaan dan Penelitian PBB.
Dilansir dari SE-15/PJ/2018, selain memberikan keseragaman langkah dalam pelaksanaan kegiatan pemeriksaan, aturan ini juga ditujukan untuk meningkatkan kualitas pemilihan wajib pajak yang akan diperiksa melalui Daftar Sasaran Prioritas Penggalian Potensi (DSP3).
“DSP3 adalah daftar wajib pajak yang menjadi sasaran prioritas penggalian potensi sepanjang tahun berjalan baik melalui kegiatan pengawasan maupun pemeriksaan,” demikian bunyi SE-15/PJ/2018 yang ditetapkan Dirjen Pajak Robert Pakpahan pada 13 Agustus 2018.
Dalam SE ini diatur, setiap kantor pajak menyusun daftar wajib pajak yang pengawasannya akan diintensifkan. Selain pengawasan yang dilakukan oleh petugas Account Representative (AR) dan kepala seksi pengawasan dan konsultasi, juga terhadap wajib pajak tersebut dapat diusulkan untuk dilakukan pengujian kepatuhan pajak secara menyeluruh melalui pemeriksaan oleh pejabat fungsional pemeriksa pajak.
Selain itu, SE-15/PJ/2018 ini menetapkan 5 indikator yang dapat digunakan oleh unit kerja Ditjen Pajak untuk menyusun DSP3 yaitu: 1) indikasi ketidakpatuhan tinggi (adanya tax gap), 2) indikasi modus ketidakpatuhan wajib pajak, 3) identifikasi nilai potensi pajak, 4) identifikasi kemampuan wajib pajak untuk membayar ketetapan pajak (collectability), dan 5) pertimbangan Dirjen Pajak.
Indikasi Ketidakpatuhan Tinggi
Ketidakpatuhan wajib pajak dapat dibagi menjadi dua besar yaitu ketidakpatuhan formal dan ketidakpatuhan material. Ketidakpatuhan formal terkait dengan pelaporan, yaitu lapor surat pemberitahuan (SPT) tetapi tidak tepat waktu, atau bahkan tidak lapor SPT. Wajib pajak yang tidak lapor SPT dapat dikenai sanksi administrasi dalam bentuk STP oleh kantor pajak. Sedangkan ketidakpatuhan material adalah ketidakpatuhan isi SPT. Artinya, wajib pajak lapor SPT tetapi tidak tepat jumlah (kurang bayar) atau tidak lapor tetapi diindikasikan ada potensi pajak yang harus dibayar tetapi tidak dibayar dan tidak dilaporkan.
Bahasa yang digunakan oleh SE-15/PJ/2018 untuk indikasi ketidakpatuhan material, yaitu adanya kesenjangan (gap) antara profil perpajakan (profil berdasarkan SPT) dengan profil ekonomi yang sebenarnya. Baik sistem informasi Ditjen Pajak maupun petugas pajak akan membandingkan SPT yang disampaikan dengan keadaan sebenarnya berdasarkan informasi lain, seperti : SPT lawan transaksi, rekening koran, dan hasil pengamatan oleh petugas.
Indikasi ketidakpatuhan wajib pajak dibedakan antara wajib pajak yang dilakukan pemeriksaan oleh 35 Unit Pelaksana Pemeriksaan (UP2) Penentu Penerimaan dengan wajib pajak yang terdaftar pada KPP Pratama. SE-15/PJ/2018 menyebutkan 35 UP2 Penentu Penerimaan adalah Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan, Kanwil DJP Wajib Pajak Besar, Kanwil DJP Jakarta Khusus, KPP di lingkungan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar, KPP di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus, dan KPP Madya.
Indikator ketidakpatuhan wajib pajak pada 35 UP2 Penentu Penerimaan antara lain:
CTA merupakan unit khusus di Ditjen Pajak. Unit khusus ini diisi oleh petugas pajak yang memiliki kualifikasi tinggi dan memiliki spesialisasi. Hasil dari CTA dituangkan dalam laporan yang disebut LHA (Laporan Hasil Analisis). LHA dari CTA dikirim langsung ke KPP terdaftar untuk dilakukan pengawasan lebih lanjut. Biasanya LHA sudah menyebut potensi pajak yang harus dibayar.
Lebih lanjut, SE-15/PJ/2018 membedakan indikator ketidakpatuhan wajib pajak pada KPP Pratama menjadi dua yaitu, indikator ketidakpatuhan wajib pajak badan dan indikator ketidakpatuhan wajib pajak orang pribadi. Indikator ketidakpatuhan wajib pajak badan pada KPP Pratama antara lain:
Adapun, indikator ketidakpatuhan wajib pajak orang pribadi pada KPP Pratama antara lain:
Indikator terkait skala usaha dapat diketahui dari hasil pengamatan atau kunjungan ke tempat usaha seperti : toko, pabrik, dan gudang. Toko yang selalu ramai, lokasi toko, dan klasifikasi toko (hanya eceran atau distributor atau agen) dibandingkan dengan pembayaran pajaknya selama sekian tahun. Petugas akan menilai kewajaran pembayaran pajak dibandingkan dengan kenyataan sebenarnya.
Harta wajibpPajak dapat diperoleh dari laporan SPT Tahunan orang pribadi, harta amnesti pajak, dan informasi di media massa baik cetak maupun online. Orang kaya yang suka memamerkan kekayaannya di media sosial seringkali menjadi viral di media grup internal pegawai pajak.
Sedangkan profil pinjaman wajib pajak maksudnya adalah pinjaman dari bank. Ditjen Pajak sudah memiliki data sistem informasi debitur (SID) yang setiap periode dikirim oleh Bank Indonesia (BI). Informasi SID dikirim berdasarkan MoU dan Peraturan Menteri Keuangan tentang pertukaran informasi antara BI dengan Ditjen Pajak.
Indikasi Modus Ketidakpatuhan Wajib Pajak
Dalam indikator ini, kantor pajak melakukan identifikasi atas wajib pajak yang terindikasi memiliki modus-modus tertentu atas ketidakpatuhannya. Identifikasi modus ketidakpatuhan dimaksudkan untuk membantu pemeriksa pajak dalam menentukan ruang lingkup (scope) dan kedalaman pemeriksaan, sehingga memudahkan dalam membuat dan menetapkan Audit Plan, Audit Program, dan dokumen-dokumen yang akan dipinjam dan diperiksa. Modus ketidakpatuhan wajib pajak antara lain:
Identifikasi Nilai Potensi Pajak
Wajib pajak yang menjadi prioritas adalah yang memiliki potensi pajak besar. Nilai potensi tersebut harus dihitung dalam rupiah sesuai dengan indikator ketidakpatuhan wajib pajak dengan cara mengalikan tarif pajak dengan potensi tax gap. Selain nilai potensi tax gap, nilai potensi pajak dapat pula diisi dengan:
Dalam hal wajib pajak yang telah menerima pengembalian pendahuluan, tidak berarti tidak akan dilakukan pemeriksaan. Pengembalian pendahuluan dilakukan dengan cara penelitian, sehingga belum dilakukan pemeriksaan. Adapun, kompensasi kerugian yang besar seperti “tabungan” bagi wajib pajak saat wajib pajak tersebut secara fiskal sudah menguntungkan. Supaya tabungan tersebut dapat dimanfaatkan, maka sebelum 5 tahun, kompensasi yang memiliki nilai besar (signifikan) akan dilakukan pemeriksaan.
Identifikasi Kemampuan Wajib Pajak untuk Membayar Ketetapan Pajak (Collectability)
Identifikasi Kemampuan wajib pajak untuk membayar ketetapan pajak (collectability) dilakukan dengan cara melakukan identifikasi kemampuan wajib pajak untuk membayar ketetapan pajak dalam rangka optimalisasi pencairan dari hasil pemeriksaan. Identifikasi yang dapat dilakukan diantaranya adalah:
Pertimbangan Dirjen Pajak
Terakhir, berdasarkan pertimbangan tertentu sesuai dengan kewenangannya, Dirjen Pajak dapat menetapkan wajib pajak yang akan menjadi DSP3. Penjelasan lebih lengkap mengenai kebijakan pemeriksaan ini dapat dibaca di sini. (Amu)