Ilustrasi.Ā Para penumpang berjalan di stasiun kereta Central do Brasil ditengah wabah penyakit virus corona (Covid-19) di Rio de Janeiro, Brasil, Jumat (26/6/2020). ANTARA FOTO/REUTERS/Ricardo Moraes/hp/djo
BRASILIA, DDTCNews ā Dalam laporan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019, diketahui adanya penurunan indikator moral pajak (tax morale) di Amerika Latin, termasuk Brazil. Lantas apa yang sebenarnya terjadi dan bisa menjadi pembelajaran?
Dalam laporan bertajuk āTax Morale: What Drives People and Businesses to Pay Tax?ā dijabarkan sejak 2011 hingga 2015, moral pajak di negara-negara Amerika Latin terus melemah. Penurunan moral pajak di Amerika Latin bertepatan dengan adanya perlambatan ekonomi yang dimulai sejak 2011.
Adapun persentase orang Amerika Latin yang ātidak akan pernah bisa membenarkanā upaya penghindaran pajak menurun dari 54% pada 2011 menjadi 48% pada 2015. Sebaliknya, orang yang āmembenarkanā penghindaran pajak meningkat dari 17% menjadi 27%.
OECD dalam laporan tersebut mengatakan penurunan moral pajak ā kemauan orang pribadi dan pelaku usaha membayar pajak secara sukarela ā tampaknya terkait dengan berhentinya kemajuan ekonomi dan sosial karena perlambatan ekonomi.
Pembalikan kondisi yang sebelumnya mencatatkan pengurangan kemiskinan dan ketimpangan telah digabungkan dengan faktor lain dalam tren global, seperti perubahan teknologi, penuaan populasi, dan skandal korupsi. Hal-hal tersebut menciptakan iklim ketidakpastian.
Laura Kurth M. Carvalho, Pengacara sekaligus Asisten Peneliti di University of Melbourne dalam tulisannya berjudul āIncreasing Tax Morale in Brazilā menjelaskan latar belakang penurunan moral pajak di Brazil dan solusi yang bisa dijalankan.
Dalam tulisan yang dimuat di Tax Notes International tersebut, Laura memaparkan data tingkat kolektivitas pajak di Brazil yang tercatat tinggi, yaitu mencapai 33,26%. Angka ini sudah mendekati rata-rata tingkat kolektivitas pajak negara-negara OECD yang mencapai 34,3%.
āHal ini menunjukkan meski moral pajak cenderung rendah, masyarakat Brazil tetap memiliki kontribusi yang besar dalam pajak,ā tulis Laura, seperti dikutip pada Rabu (15/7/2020).
Namun demikian, meskipun rasio penerimaan pajak terhadap PDB-nya setara dengan negara maju, ada perbedaan yang paling mendasar dari struktur pajak Brazil dengan negara-negara lain. Perbedaan itu adalah adalah struktur perpajakan negara ini regresif.
Struktur penerimaan pajak Brazil sangat bergantung pada pajak tidak langsung dan pajak konsumsi. Sementara itu, perolehan pajak yang berbasis penghasilan ataupun kekayaan memiliki porsi sangat kecil. Kondisi inilah yang menyebabkan ketimpangan sosial di Brazil cenderung tinggi.
Dalam tulisannya, Laura menekankan masalah pajak di Brazil terkait dengan ābagaimanaā dan ādari siapaā pajak dikumpulkan. Untuk meningkatkan keadilan perpajakan, otoritas pajak perlu merancang sistem perpajakan yang efektif dan transparan.
Berdasarkan data realisasi pajak di Brazil per 2018, kontribusi pajak barang dan jasa atas keseluruhan penerimaan pajak di Brazil mencapai 44,74%. Persentase ini dua kali lipat dari kontribusi pajak penghasilan orang pribadi maupun badan yang hanya 21,75%.
Porsi tersebut sangat timpang bila dibandingkan dengan negara-negara OECD. Di negara-negara OECD, kontribusi penerimaan pajak barang dan jasa atas keseluruhan penerimaan mencapai 32,4%, sedangkan kontribusi pajak penghasilan orang pribadi dan badan mencapai 34%.
āBila dibandingkan dengan negara yang sistem pajaknya sangat progresif, perbedaan sistem pajak Brazil dibandingkan negara lain pun semakin kentara. Di Australia, kontribusi pajak barang dan jasa hanya 7,42%, sedangkan peranan pajak penghasilan orang pribadi dan badan mencapai 58,81%," tulis Laura.
Dampak dari struktur pajak yang regresif ini masyarakat berpenghasilan rendah secara proporsi membayar pajak yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat berpenghasilan tinggi. Karena beban pajak barang dan jasa yang ditanggung oleh masyarakat pada setiap lapisan adalah sama, masyarakat dengan penghasilan rendah harus membayar pajak barang dan jasa lebih besar secara proporsi dibandingkan mereka yang berpenghasilan tinggi.
Akibatnya, mereka yang miskin semakin tergerus kekayaannya, sedangkan mereka yang kaya semakin memiliki ruang untuk berbelanja, menabung, dan mengakumulasikan kekayaannya. Hal inilah yang menyebabkan tingkat ketimpangan di Brazil teramat tinggi.
Pajak Penghasilan dan Pajak Kekayaan
Pemerintah Brazil sendiri sudah mengupayakan berbagai skema, seperti membebaskan bahan pokok seperti nasi, kacang, dan gula dari Imposto sobre CirculaĆ§Ć£o de Mercadorias e ServiƧos (ICMS). ICMS adalah salah satu jenis pajak barang dan jasa di Brazil.
Namun, hal ini masih dirasa tidak cukup terutama karena masih terdapat beberapa kebutuhan lain, seperti energi dan komunikasi, yang tarif ICMS-nya mencapai 35%. Untuk meningkatkan progresivitas pajak, instrumen yang dapat dimanfaatkan adalah melalui pajak penghasilan dan pajak kekayaan.
Kendati demikian, sistem pajak penghasilan di Brazil sendiri masih sangat bermasalah. Hal ini dikarenakan progresivitas pajak penghasilan di Brazil hanya berlaku pada masyarakat berpenghasilan rendah hingga berpenghasilan menengah.
Lapisan tarif pajak penghasilan di Brazil masing-masing adalah sebesar 0%, 7,5%, 15%, 22,5% dan 27,5%. Pajak 0% dikenakan atas penghasilan hingga BRL22.847,76, sedangkan pajak sebesar 27,5% dikenakan atas penghasilan di atas BRL55.976,1.
Sebanyak 50% masyarakat Brazil berpenghasilan di bawah ambang batas lapisan pajak penghasilan 0%, sedangkan 20% masyarakat Brazil dikenai penghasilan pajak pada lapisan tarif 7,5% hingga 22,5%. Adapun 30% sisanya dikenai pajak penghasilan pada lapisan tarif 27,5%.
"Tarif pajak penghasilan Brazil pada lapisan penghasilan tertinggi ini jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata negara OECD yang mengenakan tarif pajak penghasilan sebesar 42,5% atas penghasilan pada lapisan penghasilan tertinggi. Hal ini mengindikasikan tarif pajak penghasilan pada lapisan penghasilan tertinggi perlu ditingkatkan lagi agar sistem pajaknya bisa semakin progresif,ā tulis Laura.
Masalah pajak penghasilan Brazil pun tidak berhenti di sini. Data otoritas pajak Brazil juga mengungkapkan sebagian besar penghasilan orang kaya di Brazil tidak dipajaki. Contoh penghasilan yang tidak dikenai pajak ini adalah penghasilan yang termasuk dalam kategori capital income, seperti dividen.
"50% dari penghasilan yang tidak dipajaki, BRL414,7 miliar, terkonsentrasi hanya pada kelompok masyarakat 1% terkaya di Brazil. Akibatnya, tarif pajak penghasilan efektif yang dibayar oleh orang kaya ini hanya 2% dari penghasilannya secara keseluruhan,ā imbuhnya.
Untuk meningkatkan moral pajak, Laura menekankan kuncinya bukanlah dengan memangkas tarif pajak melalui berbagai macam bentuk insentif. Laporan OECD mengungkapkan moral pajak tidak ditentukan oleh tarif pajak. Simak artikel āKerek Kepatuhan Sukarela WP? Cek Dulu Laporan OECD Soal Moral Pajakā.
Yang perlu dipastikan oleh otoritas pajak Brazil adalah kepastian pajak dan kesesuaian regulasi pajak domestik dengan standar internasional. Birokrasi yang eksesif dan ketidakpastian mekanisme resolusi sengketa pajak juga perlu ditindaklanjuti oleh otoritas.
Tren global menunjukkan kebijakan pajak yang lebih ketat dan seragam memiliki kemampuan untuk meningkatkan moral pajak. Pada kasus Brazil, banyak wajib pajak memilih untuk mendeklarasikan aset-aset yang sebelumnya tidak dilaporkan ketika negara meluncurkan program tax amnesty pada 2016.
Hasilnya, tercatat 25.000 wajib pajak orang pribadi dan 103 wajib pajak badan mendeklarasikan aset hingga BRL170 miliar. Dari program tax amnestyĀ tersebut, Brazil berhasil memperoleh tambahan penerimaan pajak hingga BRL50 juta.
Dari sini, Laura menekankan membangun sistem perpajakan menjadi lebih progresif sangat diperlukan, terutama di tengah gelontoran stimulus fiskal untuk penanganan pandemi Covid-19. Apalagi, pemerintah juga tetap harus meningkatkan penerimaan pajak untuk menjaga keberlanjutan fiskal di masa mendatang. (kaw)