Ilustrasi. (foto: BGR)
JAKARTA, DDTCNews – Reformasi pajak Presiden Amerika Serikat Donald Trump bukan menjadi faktor paling dominan yang membuat Amazon tidak membayar pajak ke otoritas. Regulasi-regulasi yang sudah ada sejak lama justru yang membuat retailerterbesar di dunia ini tidak harus menyetor pajak.
Amazon mengambil keuntungan jangka panjang dengan mengurangi beban pajak. Pengurangan ini karena perusahaan membayar karyawannya dalam bentuk saham, pembangunan gedung baru, serta penggunaan keringanan pajak ketika perusahaan sedang tidak menguntungkan.
Perusahaan ini mendapatkan manfaat yang biasanya digunakan oleh perusahaan teknologi yakni pengurangan untuk membayar karyawan dalam saham dan penghapusan (write-offs) bagi perusahaan yang sangat bergantung pada pembangunan infrastruktur fisik.
Kredit penelitian dan pengembangan yang sejak awal dirancang untuk mendorong inovasi di Negeri Paman Sam juga menghasilkan potongan pajak hingga US$419 juta untuk Amazon. Selain itu, ada tambahan ratusan juta dolar dalam kerugian yang dimiliki perusahaan bertahun-tahun sebelum untung.
Hal inilah yang membuat perusahaan tersebut tidak membayar pajak federal pada 2018 maupun 2017. Tidak mengherankan jika kondisi ini memunculkan kekesalan publik karena perusahaan yang dipimpin orang terkaya didunia, Jeff Bezos, menghasilkan pendapatan lebih dari US$232 miliar.
Meskipun memiliki ratusan miliar pendapatan, perusahaan hanya membukukan laba sekitar US$9,4 miliar pada 2018. Dengan demikian, basis yang dipakai jauh lebih kecil untuk pajak dan kredit pajak. Amazon menegaskan perusahaannya membayar pajak yang diperlukan.
“Pajak perusahaan didasarkan pada laba, bukan pendapatan. Laba kami tetap modest, mengingat ritel adalah bisnis yang sangat kompetitif, marginnya rendah,” jelas Amazon dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip pada Rabu (27/2/2019).
Kekesalan publik muncul di New York karena Amazon membatalkan rencana membangun markas keduanya padahal sudah mendapatkan tawaran insentif pajak US$3 miliar. Tawaran insentif ini sebelumnya ditentang keras oleh politisi dan aktivis.
“Saya melihat ada rasa frustrasi di sana, tetapi itu tidak seperti mereka melalukan sesuatu yang ilegal. Begitulah cara hukum pajak bekerja,” ujar Brian Yarbrough, seorang analis ekuitas senior di Edward Jones.
Adapun, pengurangan pajak perusahaan dari 35% menjadi 21% dalam Tax Cuts and Jobs Act (TCJA) yang diprakarsai Presiden Donald Trump tidak berdampak besar dalam kasus Amazon. Instrumen-instrumen lama yang tidak berubah di undang-undang baru masih menjadi penyebab utama.
Salah satu faktor terbesar bukanlah perubahan yang substantif. Pengurangan untuk kompensasi berbasis saham berjumlah hampir US$1,1 miliar pada 2018. Hal ini sekarang lebih jelas ditampilkan karena perubahan aturan akuntansi.
“Undang-undang perpajakan tidak mengubah sedikitpun. Ini semua masalah presentasi,” kata Robert Willens, seorang konsultan pajak yang berbasis di New York, seperti dilansir Chicago Tribune.
Atas kondisi ini, pemerintah AS masih mendapatkan hasil positif karena karyawan Amazon akhirnya membayar lebih banyak pajak dar ipada yang bisa dihapuskan oleh perusahaan. Karyawan harus membayar pajak atas pendapatan yang mereka terima dari saham-saham itu dengan tarif yang berada di atas 37%. (kaw)