BERITA PAJAK HARI INI

Bendung 'Uang Panas', Wacana Pengenaan Tobin Tax Menyeruak

Kurniawan Agung Wicaksono
Rabu, 09 Januari 2019 | 08.20 WIB
Bendung 'Uang Panas', Wacana Pengenaan Tobin Tax Menyeruak

Ilustrasi. 

JAKARTA, DDTCNews – Wacana pengenaan tobin tax kembali menyeruak untuk mengantisipasi efek negatif masuknya ‘uang panas’ ke Indonesia. Topik ini menjadi bahasan mayoritas media nasional pada hari ini, Rabu (9/1/2019).

Apalagi, pada akhir tahun lalu, pasar uang maupun pasar saham negara berkembang rebound setelah loyo sejak awal tahun. Di Indonesia, indeks harga saham gabungan (IHSG) menghijau, rupiah menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS), dan imbal hasil obligasi pemerintah menurun menjadi 7,8%.

Aliran modal yang masuk ke Indonesia terjadi setelah Gubernur The Fed menegaskan akan berhati-hati saat menaikkan suku bunga. Apalagi, defisit transaksi berjalan mayoritas dibiayai dari dana portofolio. Selain itu lebih dari 36% kepemilikan surat berharga negara (SBN) dikuasai oleh asing.

Kondisi ini akan memberikan negatif berupa pembalikan modal ke luar. Apalagi, jika Bank Sentral AS melanjutkan normalisasi kebijakan moneternya. Untuk menjaga hot money tersebut, wacana penerapan  reverse tobin tax kembali dikemukakan Mantan Menteri Keuangan M. Chatib Basri.

“Pemerintah juga bisa menerapkan reverse tobin tax. Jika dalam tobin tax, arus modal masuk jangka pendek dikenakan pajak, maka dalam reverse tobin tax, pemerintah memberikan insentif pajak jika investor melakukan reinvestasi keuntungannya untuk jangka panjang,” ujar Chatib lewat akun Facebook-nya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun mengaku akan mengkaji ide tobin tax atau reverse tobin tax. Menurutnya,treatment untuk ‘uang panas’ harus dilakukan dengan desain kebijakan yang komprehensif. Dengan demikian, dana yang masuk bisa bertahan dalam jangka panjang.

Selain itu, beberapa media nasional juga menyuguhkan topik terkait penerimaan dari pajak penghasilan (PPh) badan yang masih menjadi andalan Ditjen Pajak. Berkaitan dengan hal tersebut, kajian terkait penurunan tarif PPh badan masih terus digodok oleh pemerintah.

Berikut ulasan berita selengkapnya.

  • Instrumen Pajak ini Diyakini Mampu Jaga ‘Uang Panas’

Mantan Menteri Keuangan M. Chatib Basri mengatakan reverse tobin tax bisa menjadi salah satu instrument agar rupiah dan pasar keuangan tidak tergoncang jika The Fed kembali menaikkan suku bunga acuannya. Bagaimanapun, sambungnya, Indonesia masih cukup rentan. Risiko pembalikan modal juga sudah terasa sebelumnya. “Di awal tahun ini, saya Ingin mengingatkan this time is (not) different,” katanya.

  • Kemenkeu Kaji Tobin Tax

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku akan mengkaji penerapan tobin tax ataupun reverse tobin tax.Menurutnya, desain dari penerapan instrumen ini harus tepat agar tidak memunculkan persoalan baru di kemudian hari, terutama terkait dengan masuknya modal.

“Masalahnya bukan perlu atau tidak perlu [tobin tax], tapi bagaimana desainnya bisa mencegah ketidakstabilan, tapi mendapat manfaat capital inflow,” ujar Sri Mulyani.

  • Pemerintah Masih Andalkan PPh Badan

Pemerintah masih akan mengandalkan penerimaan pajak dari korporasi. Hal ini terlihat dari target penerimaan PPh badan yang ditetapkan pemerintah pada tahun ini. Penerimaan PPh badan ditarget mencapai Rp311,54 triliun atau 37,7% dari target PPh nonmigas Rp828,2 triliun.

  • Kadin: Reformasi Pajak Jangan Berhenti di Tax Amnesty

Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menegaskan penurunan tarif PPh badan merupakan keniscayaan yang harus dilakukan pemerintah. Hasil perhitungan Kadin, tarif PPh badan yang ideal mencapai 17%-18%. Hal ini berpotensi menaikkan daya saing Indonesia.

“Di Amerika saja melakukan ini [penurunan tarif]. Kalau kita ingin reformasi perpajakan, seharusnya jangan berhenti ditax amnesty, tapi juga pemotongan PPh badan,” jelasnya.

  • Menkeu Masih Kaji Rencana Penurunan Tarif PPh Badan

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku rencana penurunan tarif PPh badan masih terus dikaji. Apalagi, ada risiko fiskal yang cukup besar karena selama ini penerimaan dari PPh badan masih cukup besar. Keputusan penurunan tarif PPh badan juga harus menunggu revisi Undang-Undang PPh. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.