REVISI UU KUP

Waduh, Porsi SPT Badan dengan Status Rugi Fiskal Terus Naik

Muhamad Wildan
Kamis, 01 Juli 2021 | 11.05 WIB
Waduh, Porsi SPT Badan dengan Status Rugi Fiskal Terus Naik

Materi yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR membahas RUU KUP, Senin (28/6/2021). (tangkapan layar Youtube)

JAKARTA, DDTCNews – Jumlah Surat Pemberitahuan (SPT) badan dengan status rugi fiskal terus mengalami kenaikan.

Pada 2012, jumlah SPT badan dengan status rugi fiskal mencapai 8% terhadap total SPT badan yang diterima Ditjen Pajak (DJP). Pada 2019, proporsi tersebut mengalami kenaikan hingga menjadi 11%. Dengan demikian, jumlah wajib pajak badan yang mengaku rugi bertambah.

“Kita lihat meski kita beri banyak kemudahan dan insentif, dalam praktiknya badan yang melaporkan rugi terus-menerus meningkat dari 8% menjadi 11%," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di hadapan Komisi XI DPR, dikutip pada Kamis (1/7/2021).

Menurut Sri Mulyani, data tersebut mengindikasikan adanya praktik penghindaran pajak yang terus menerus dilakukan wajib pajak badan. Hal ini dikarenakan wajib pajak yang mengaku rugi terus-menerus masih tetap beroperasi, bahkan mengembangkan usahanya.

Di sisi lain, Indonesia hingga saat ini tidak memiliki instrumen pencegahan penghindaran pajak yang komprehensif untuk membendung praktik-praktik semacam ini. "Ini menggerus basis perpajakan kita," ujar Sri Mulyani.

Merujuk pada data Tax Justice Network yang dilaporkan dalam The State of Tax Justice 2020, total penerimaan pajak yang tidak dapat dipungut Indonesia akibat praktik penghindaran pajak diestimasi mencapai US$4,86 miliar atau kurang lebih sebesar Rp70,6 triliun per tahun.

Menurut lembaga tersebut, potensi pajak yang hilang setara dengan 4,39% dari total penerimaan pajak Indonesia dan 42,29% dari total belanja kesehatan.

Untuk menangkal praktik penggerusan basis pajak ini, pemerintah pun menyiapkan 2 instrumen baru yang akan dimasukkan dalam revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), yakni alternative minimum tax (AMT) dan general anti-avoidance rule (GAAR).

"Secara global ini [penghindaran pajak] terjadi. Oleh karena itu, diperlukan instrumen untuk menangkal penghindaran pajak secara global dalam bentuk minimum tax dan GAAR," ujar Sri Mulyani.

Dalam penerapan AMT, pemerintah berencana mengenakan AMT dengan tarif tertentu atas wajib pajak yang menyatakan rugi secara terus-menerus tetapi masih tetap beroperasi. AMT akan dikenakan atas omzet, bukan atas penghasilan neto sebagaimana yang berlaku pada rezim PPh.

Melalui GAAR, pemerintah akan memiliki landasan hukum untuk mengoreksi transaksi-transaksi yang terindikasi bertujuan untuk mengurangi, menghindari, ataupun menunda pembayaran pajak yang bertentangan dengan ketentuan perpajakan. Simak ‘Ini Rencana Perubahan Kebijakan PPh dalam Revisi UU KUP’.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.