Ilustrasi.
ISLAMABAD, DDTCNews – Pemerintah Pakistan resmi melakukan amendemen ketiga undang-undang pajak penghasilan. Salah satu klausul yang diamendemen adalah kewenangan otoritas pajak terhadap wajib pajak yang tidak mematuhi kewajiban pajaknya.
Presiden Pakistan Arif Alvi mengataakn amendemen ketiga undang-undang pajak penghasilan pada 18 September 2021 merupakan bagian dari upaya untuk memperluas basis pajak dan memberantas praktik penghindaran pajak.
“Pemerintah memberikan kekuasaan besar kepada otoritas pajak (Federal Board of Revenue/FBR) untuk melakukan pemutusan sambungan telepon seluler/SIM, listrik, dan sambungan gas dalam rangka penegakan hukum pajak,” dikutip dari The News, Selasa (21/09/2021).
Dengan undang-undang baru tersebut, FBR dapat menghentikan sambungan telepon, gas, listrik, dan rekening orang tertentu yang tidak terdaftar sebagai wajib pajak aktif di Pakistan. Apabila wajib pajak telah memenuhi kewajiban pajaknya maka tindakan tersebut baru dihentikan oleh FBR.
Undang-undang baru juga mengatur mengenai dukungan Badan Basis Data dan Registrasi Nasional (National Database and Registration Authority/NDRA) untuk memberikan informasi tentang aset wajib pajak di Pakistan kepada FBR untuk kepentingan perpajakan.
NDRA memiliki kemampuan dalam menghitung indikasi pendapatan wajib pajak yang melanggar kewajiban pajak di Pakistan menggunakan kecerdasan buatan, pemodelan matematika, dan statistik sehingga dapat menunjang upaya pengungkapan praktik penghindaran pajak di Pakistan.
Lebih lanjut, undang-undang baru juga mengatur batasan pembayaran pajak penghasilan perusahaan dan orang pribadi secara online untuk pajak penghasilan perusahaan lebih dari Rs250.000 atau Rp21 juta dan pajak penghasilan orang pribadi Rs25.000 per bulan.
Presiden berharap target penerimaan pajak di Pakistan 2021-2022 dapat tercapai hingga Rs5.289 miliar atau Rp445,57 triliun. Hal ini dilakukan sekalipun dengan tingkat inflasi di Pakistan yang saat ini sedang tinggi mencapai 8,2%. (rizki/rig)