Penyuluh Pajak Ahli Madya DJP Eko Ariyanto.
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) menegaskan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) 2/2022 tentang Cipta Kerja sama sekali tidak mengubah substansi ketentuan pajak yang telah termuat dalam UU 11/2020 tentang Cipta Kerja.
Penyuluh Pajak Ahli Madya DJP Eko Ariyanto menjelaskan Perpu Cipta Kerja hanya menulis ulang pasal-pasal yang telah dimuat dalam UU Cipta Kerja. Namun, pasal-pasal yang telah termuat dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) tidak ditulis kembali dalam Perpu Cipta Kerja.
"Apabila ada pasal-pasal terdampak oleh judicial review, itulah yang diubah di Perpu Cipta Kerja. Bukan perubahan substansial, melainkan perubahan redaksional," katanya dalam Sosialisasi Peraturan Perpajakan yang digelar oleh Direktorat P2Humas DJP, Kamis (12/1/2023).
Contoh, UU Cipta Kerja merevisi 3 pasal pada UU PPh, yaitu Pasal 2, Pasal 4, dan Pasal 26. Dari 3 pasal itu, pasal yang direvisi kembali melalui UU HPP hanya Pasal 4. Dengan demikian, pasal yang dituliskan ulang dalam Perpu Cipta Kerja hanya Pasal 2 dan Pasal 26.
Pasal 2 UU PPh s.t.d.t.d Perpu Cipta Kerja mengatur tentang persyaratan subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri, sedangkan Pasal 26 mengatur tentang penurunan tarif PPh Pasal 26 atas bunga obligasi dari 20% menjadi 10%.
Dengan ditetapkannya Perpu Cipta Kerja, klaster perpajakan dalam perpu tersebut harus dibaca dan dimaknai sama dengan undang-undang perpajakan yang saat ini berlaku.
Sebagai informasi, Perpu Cipta Kerja telah ditetapkan pemerintah guna melaksanakan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Putusan tersebut menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan perlu segera diperbaiki dalam waktu 2 tahun sejak putusan dibacakan.
Menurut pemerintah, Perpu Cipta Kerja perlu diterbitkan karena adanya kegentingan yang memaksa, seperti krisis energi dan pangan, perubahan iklim, dan gangguan rantai pasok. Untuk itu, berbagai isu tersebut perlu direspons dengan kebijakan berdasarkan Perpu Cipta Kerja.
"Sesuai Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, kondisi tersebut di atas telah memenuhi parameter sebagai kegentingan yang memaksa dalam rangka penetapan perpu," bunyi bagian penjelas dari Perpu Cipta Kerja.
Menurut putusan tersebut, perpu dapat ditetapkan bila: ada kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah secara cepat berdasarkan undang-undang; undang-undang yang dibutuhkan belum tersedia sehingga terjadi kekosongan hukum; dan kondisi kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi melalui penyusunan undang-undang menggunakan prosedur biasa. (rig)