Deputi Bidang UKM Kementerian Koperasi dan UKM Hanung Harimba Rachman. (dokumen pribadi)
UMKM menjadi salah satu sektor yang paling terpukul akibat pandemi Covid-19. Berbeda dengan situasi krisis ekomomi pada 1998 dan 2008 yang masih bisa 'dilawan', krisis kesehatan akibat pandemi membuat pelaku UMKM cukup kewalahan karena diikuti pembatasan aktivitas masyarakat.
Di sisi lain, krisis yang terjadi kali ini bersamaan dengan momentum berakhirnya masa penggunaan rezim pajak penghasilan (PPh) final PP 23/2018 untuk wajib pajak badan UMKM yang telah terdaftar pada 2018 atau sebelumnya. Artinya mereka akan menggunakan rezim umum PPh.
DDTCNews berkesempatan mewawancarai Deputi Bidang UKM Kementerian Koperasi dan UKM Hanung Harimba Rachman untuk mengetahui kondisi UMKM saat ini. DDTCNews juga ingin mencari tahu seberapa penting aspek pajak dalam keberlangsungan UMKM. Berikut petikannya:
Berapa banyak jumlah pelaku UMKM di Indonesia?
Jumlahnya sekitar 65 juta pelaku pada saat ini. Dengan angka itu, serapan terhadap tenaga kerjanya juga sangat tinggi. Kalau dari skalanya, yang paling banyak masih ultramikro. Nah, kalau sektor, paling banyak tentu perdagangan. Pelaku UMKM kita banyak sekali pedagang. Jumlah kedua terbanyak adalah pertanian.
Apakah pandemi Covid-19 juga memberikan pukulan pada keberlangsungan UMKM?
Dampak pasti dirasakan. Demand tentu menurun untuk produk tertentu meskipun memang tertolong dengan strategi belanja masyarakat yang mulai beralih ke online. Itulah kenapa penting bagi teman-teman UKM untuk beralih ke digital.
Yang pasti, UKM saat ini butuh kepastian dari pemerintah bahwa mereka bisa kembali berusaha, tanpa ada pembatasan [kegiatan masyarakat] lagi. Di satu sisi, pelaku UKM perlu juga beradaptasi dengan menerapkan protokol kesehatan di tengah usaha mereka.
Kalau kita lihat di lapangan sangat dinamis. Selain pendampingan ke digital, kami juga berupaya memfasilitasi teman-teman UKM untuk beralih bidang usaha. Ini karena mungkin ada bidang usaha yang sekarang kurang menarik atau laku karena pandemi.
Contoh, karena banyak orang bekerja dari rumah, permintaan baju-baju formal turun. Batik-batik juga turun karena enggak pernah dipakai. Jadi, harus ada tindakan karena pola konsumen mereka berubah.
Selama ini UMKM diberikan ruang untuk memanfaatkan PPh final 0,5% sesuai dengan PP 23/2018. Namun, pemberlakuan terbatas. Bagaimana Kemenkop-UKM melihat ini?
Kalau suara kami tentu sesuai dengan aspirasi pihak teman-teman UKM. Ya pasti mereka ingin perlakuan khusus dengan skema PPh final 0,5% ini dilanjutkan, bahkan kalau perlu tidak perlu bayar pajak. Namun, di luar keinginan itu, kami memahami pelaku UKM pun warga negara yang wajib membayar pajak. Kami menyadari juga perlunya pajak untuk ‘bahan bakar’ pembangunan.
Hanya saja, ada catatan-catatan yang bisa kami sampaikan terkait dengan aturan pajak bagi UKM ini. Menurut hemat saya, angka 0,5% bagi pelaku UKM masih cukup berat karena teman-teman sendiri usahanya sangat beragam.
Ada baiknya teman-teman dari otoritas [Kementerian Keuangan] menyusun skema pajak penghasilan final bergradasi [progresif] bagi pelaku UKM dengan angka yang diatur kembali. Jadi, tidak dipukul rata 0,5%. Maksudnya, kalau income sekian sampai sekian [dikenakan tarif] 0,1%, sekian sampai sekian 0,2%, terus sampai ke 0,5%.
Bisa juga berdasarkan sektor karena tidak semua sektor profitnya besar. Jadi, tidak bisa dipukul rata untuk semua sektor, apalagi kaitannya dengan pandemi kemarin. Dari omzet itu belum tentu untung. Katakanlah kalau normal untung 10% atau 20%. Anda ambil 0,5%-nya kan lumayan meskipun selama ini UMKM diberi opsi untuk pakai PPh final atau ketentuan umum yang dihitung berdasar profit.
Nah makanya kalau menurut kami angka 0,5% masih terlalu besar. Jadi, kami tetap ingin agar tarif ini progresif. Mekanismenya lebih adil untuk teman-teman UKM. Namun, yang pasti mereka wajib lapor karena kan sudah wajib pajak.
Apakah bisa dikatakan aspek pajak ini penting bagi pelaku UMKM?
Sebenarnya ada hal lain yang menurut saya lebih penting. Pemerintah, kami juga termasuk, perlu memastikan rasa aman dan nyaman bagi pelaku UKM dalam berusaha. Mereka harus merasa dilindungi. Jadi, mereka bayar pajak tapi jangan ada pungutan liar di pinggir jalan.
Mereka kan sudah bayar pajak, ya artinya harus dilindungi. Tidak ada lagi pungutan liar. Kalau usaha mikro kecil ini hambatan terbesar bukan pajak, tapi pungutan liar. Di mana-mana ada. Hal-hal seperti ini yang jadi PR (pekerjaan rumah) pemerintah juga sebenarnya.
Kalau para pelaku usaha mikro kecil ini dilindungi dengan baik dari pungutan ini, mereka merasa aman dan nyaman. Kemudian, mereka akan otomatis membayar pajak. Jadi self-assessment terkait pajak ini bisa berjalan dengan baik saat wajib pajak UKM ini merasa dijamin.
Kembali mengenai batasan waktu penggunaan PPh final, PT yang sudah terdaftar sejak 2018 atau sebelumnya sudah mulai menggunakan tarif umum pada tahun ini. Tahun depan giliran untuk CV, firma, koperasi. Bagaimana Kemenkop-UKM melihat kesiapan mereka?
PPh final UMKM 0,5% ini kan diberikan salah satunya untuk memberi ruang bagi UMKM agar lebih siap melakukan pembukuan. Poinnya sebenarnya bagus, membantu UMKM. Kemudian juga pas berbarengan dengan pandemi Covid-19. Jadi, cukup membantu teman-teman UMKM.
Di satu sisi, kita memahami negara perlu pajak dan semua warga negara punya kewajiban bayar pajak. Jadi, dari sisi kami memahami UKM memang harus bayar pajak. Hanya saja, prosedurnya harus diperbaiki. Administrasi pajak perlu disederhanakan.
Mereka takutnya usaha mereka kan enggak tetap. Kadang dia berhenti berusaha dalam beberapa bulan lalu memulai lagi. Ya, kelas-kelas mikro kan begitu ya. Hal-hal seperti itu kan kalau dipajaki pusing dia laporin-nya. Pembukuan pun tidak semua pelaku UKM memahami dengan baik.
Jadi, memang harus ada perlakuan khusus, entah dia dibebaskan atau apa. Ada langkah tertentu, misalnya yang aktivitas usahanya kurang dari waktu tertentu dibebaskan dari kewajiban pajak dengan tarif tertentu.
Apa yang dilakukan pemerintah, termasuk Kemenkop-UKM, untuk mengejar perbaikan pembukuan para pelaku UMKM?
Kami tahu ada BDS [Business Development Service]. Jadi, kami pun mengadakan pelatihan dan sosialisasi ini agar pelaku UMKM terbiasa melakukan pembukuan. Kami lebih banyak polanya bekerja sama dengan Ditjen Pajak karena ini memang wilayah mereka. Mereka juga punya program khusus untuk itu. Kalau kami lebih kepada memfasilitasi dan mencarikan UMKM-nya yang akan dilatih.
Dari Kemenkop-UKM sendiri juga meluncurkan aplikasi Laporan Akuntansi Usaha Mikro (Lamikro) untuk para pelaku usaha mikro yang baru memulai usaha atau wirausaha pemula. Lamikro ini aplikasi pembukuan akuntansi sederhana untuk usaha mikro yang bisa digunakan melalui smartphone dengan sistem operasi Android.
Bisa diakses kapan saja dan di mana saja. Aplikasi ini dirancang untuk menjadi fleksibel dengan banyak pilihan berbasis pengguna. Jadi, UKM bisa beradaptasi dengan berbagai prosedur penganggaran dan cukup kuat untuk menggantikan metode tradisional pencatatan manual.
Terkait dengan perlakuan khusus, pemerintah juga telah mengusulkan penghapusan fasilitas pengurangan tarif dalam Pasal 31E UU PPh. Bagaimana pandangan Kemenkop-UKM?
Kalau kita sih minta dipertahankan. Sampai sekarang, kami sudah berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan tetapi belum ada waktu yang lebih pas untuk berdiskusi lebih jauh. Kalau kami fokusnya adalah membantu teman-teman UKM ini biar bisa berkembang.
Kalau kami sih meminta insentif ini masih ada ya, khususnya di sektor-sektor yang memang mau kita dorong. Seperti halnya yang diterima perusahaan-perusahaan besar. Perusahaan besar kan mereka dapat tax holiday dan tax allowance. Jadi, seharusnya kebijakan ini juga adil ke teman-teman pelaku UKM.
Pemerintah ingin UMKM naik kelas. Menurut Anda, apakah perlakuan khusus pajak bagi pelaku UMKM ini krusial?
Kalau menurut saya, tarif pajak itu tidak begitu berpengaruh ya. Penyebab [UMKM] tidak naik kelas bukan dari sisi pajaknya, melainkan lebih karena kapasitas UMKM-nya sendiri. Problem terbesar bagi UMKM adalah akses pasar, informasi mengenai perluasan pasar ke luar negeri, dan yang terpenting adalah akses pembiayaan.
Pajak tentu punya andil dalam mendorong kinerja UMKM. Namun, lebih krusial poin-poin yang saya sebut tadi. Setelah itu, baru pajak yang bisa menambah kemudahan bagi UMKM dalam memenuhi tanggung jawabnya bagi negara.
Misalnya ekspor, kan tidak gampang. Dia mau naik kelas untuk investasi, pembiayaan itu skemanya untuk investasi masih sedikit. Kebanyakan yang bantu itu modal kerja. Jadi, kalau mau tingkatkan skalanya, pembiayaannya banyak skema yang belum tersedia.
Biasanya, mereka pakai modal sendiri. Kalau perusahaan besar kan bisa melakukan IPO [penawaran perdana saham] dan banyak skema lain untuk mendapat pembiayaan. Perusahaan makin besar, pilihannya makin banyak untuk mendapat pembiayaan.
Dari Kemenkop-UKM melihat pendekatan dari Ditjen Pajak kepada pelaku UMKM selama ini seperti apa? Apakah perlu ada perubahan?
Sebenarnya, kalau kami melihat sebaiknya UKM ini tidak perlu dijadikan target prioritas. Jumlahnya memang banyak, tapi dapatnya tidak banyak. Mending yang besar-besar saja yang dikejar. Misalnya, penerimaan pajak dari sumber daya alam dan sebagainya.
Rasio pajak kita kan sekitar 10% ya kalau tidak salah. Padahal distribusi income kita tidak seimbang. Segelintir orang di Indonesia income-nya menyumbang sebagian besar income di Indonesia. Harusnya, rasio pajak kita di atas 20% dong ya.
Intinya adalah pajak yang berkeadilan. Jadi, teman-teman DJP ini perlu lebih banyak menyasar potensi pajak yang besar ini. Effort-nya juga akan lebih kecil. Jangan yang kecil-kecil dikejar. Poinnya adalah intensifikasi pajak ditekankan dulu baru diperluas ke yang lain. (kaw)