Randi Milza,
DALAM dunia yang semakin bergerak, adalah lumrah jika seseorang memilih melepaskan status kewarganegaraannya (renunciation of citizenship) dan menjadi warga negara lain. Banyak faktor yang mendorong perilaku tersebut, antara lain karena kepentingan ekonomi.
Seseorang bisa pindah kewarganegaraan karena terlanjur nyaman dan mendapat penghidupan lebih baik di negara lain. Namun, ada juga yang pindah karena faktor nonekonomi, seperti menghindari pajak, menghindari wajib militer, terjerat kasus hukum, perkawinan, atau sebab lainnya.
Apapun tindakan yang mendasari, negara yang ditinggalkan akan dihadapkan pada suatu pilihan. Apakah akan menerapkan exit tax kepada warga negara yang melepaskan kewarganegarannya itu demi melindungi basis pajak yang hilang.
Berdasarkan teori manfaat, wajib pajak dikenakan exit tax karena dianggap telah mendapatkan banyak manfaat dari negara asalnya. Negara tersebut dianggap telah memberikan banyak hal seperti perlindungan hukum, infrastruktur, pasar, jaminan keamanan, kesehatan, dan seterusnya.
Semua manfaat tidak langsung itu telah memudahkan wajib pajak meraih penghasilan di negara asalnya. Dengan demikian, ketika wajib pajak ingin keluar dari suatu negara dan mengonsumsi manfaat yang telah diterimanya, tentu adil bagi negara tersebut untuk memajakinya.
Pemajakan itu juga mempertimbangkan penerimaan yang hilang (revenue forgone) yang tidak didapatkan lagi di masa depan. Postulat ini akan kian terasa adil (equality theory) apabila ternyata warga negara tersebut pindah kewarganegaraan, misalnya karena menghindari jeratan kasus hukum.
Lazimnya, exit tax hanya dikenakan pada individu karena individu dipandang lebih sedikit bergerak (less mobile) daripada modal. Faktor mobilitas ini penting karena akan memberikan dampak pada beban administrasi (burden of administration) yang harus ditanggung otoritas pajak.
Sementara itu, modal dapat diinvestasikan dengan mudah di manapun, dapat dibawa keluar kapan saja oleh pemilik modal ketika investasinya tidak lagi menguntungkan. Modal juga tidak punya status kewarganegaraan yang menyebabkan kesulitan memperhitungkan pengenaannya.
Sampai di sini, lalu sejauh mana Indonesia bisa menerapkan exit tax? Untuk menjawab pertanyaan ini, harus dipahami dahulu yang dimaksud ‘exit’ dalam exit tax. ‘Exit’ adalah kejadian pada wajib pajak yang mengakibatkan ia berada ‘di luar’ jangkauan wewenang otoritas perpajakan.
Karena itu, dalam konteks ini penting membaca Pasal 2 UU Pajak Penghasilan (PPh). Pasal tersebut memungkinan seorang warga negara Indonesia (WNI) berada ‘di luar’ yurisdiksi pemajakan dengan menjadi Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) sepanjang tidak menerima penghasilan dari Indonesia.
Dengan demikian, exit tax tidak bisa dikenakan pada WNI hanya karena telah menjadi SPLN. Dalam pengenaan pajak selain exit tax, WNI SPLN juga tidak bisa dikenakan pajak oleh otoritas pajak Indonesia karena tidak mendapatkan penghasilan apapun yang bersumber dari Indonesia.
Karena itu, dengan mempertimbangkan Pasal 2 UU PPh, maka akan ada klaster tertentu dalam exit tax ini, yaitu WNI SPLN. Subjek pajak WNI SPLN ini seharusnya tidak terkena exit tax ketika ia melepaskan status kewarganegarannya.
Hal ini berbeda dengan Amerika Serikat, yang warga negaranya di luar negeri untuk jangka waktu kapanpun tetap menjadi US Tax Resident (SPDN) baik mendapatkan penghasilan atau tidak dari AS. Karena itu, dengan hanya memandang status kewarganegaraan, AS bisa menerapkan exit tax.
Norma Baru
PEMERINTAH Indonesia bisa saja berdalih meskipun WNI tersebut sudah bukan lagi tax resident di Indonesia, status WNI yang tetap disandangnya mengakibatkan dirinya secara otomatis mendapatkan pelayanan dan perlindungan oleh negara.
Apabila WNI SPLN tersebut terjerat kasus hukum di negara luar, secara hukum internasional tetap Indonesia yang bertanggung jawab. Karena itu, apabila exit tax tetap dikenakan pada WNI SPLN yang ingin pindah kewarganegaraan, sebaiknya perlu dibuat sebuah norma baru dalam UU PPh.
Namun, demi efisiensi saat implementasi, exit tax sebaiknya dikenakan pada WNI SPDN yang melepas status kewarganegaraan saja, bukan pada WNI SPDN yang tidak melepas status kewarganegaraannya.
Sesuai dengan normanya, exit tax dikenakan atas keuntungan modal (capital gain) dari deemed transaction atas harta wajib pajak baik di dalam maupun luar negeri, dan semua harta yang dimiliki diasumsikan telah dijual dengan nilai pasar wajar saat status kewarganegaraannya terlepas.
Apabila tidak diketahui nilai pasar wajar harta, otoritas pajak harus menentukan nilai pasar wajar dari harta tersebut dengan metode valuasi. Harta adalah harta yang sudah dilaporkan baik dalam surat pemberitahuan (SPT) tahunan maupun yang ditemukan kemudian.
Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana cara memajakinya? Apakah akan dikenakan pajak secara final atau mekanisme biasa? Sebagaimana diketahui, di dalam UU PPh terdapat dua mekanisme pemajakan atas keuntungan modal, yaitu secara final dan nonfinal.
Mengikuti Penjelasan Pasal 4 UU PPh, maka demi efisiensi penerapan, sebaiknya exit tax dibuatkan skema pemajakan final. Pemajakan ini akan memudahkan karena baik wajib pajak maupun otoritas pajak tidak perlu mengetahui basis dari suatu harta dalam menghitung keuntungan modal.
Dari sisi kebutuhan beleid pun, hal ini relatif mudah karena pemerintah cukup menerbitkan peraturan pemerintah sebagai landasan hukum untuk mengenakan exit tax sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat 2 (e) UU PPh, tidak perlu undang-undang.
Apabila wajib pajak terjerat hukum dan dikenai penyitaan harta, maka dengan hak mendahului pajak pada Pasal 21 UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, akan lebih mudah jika penghitungan pajak terutang bisa dilakukan secara cepat, yaitu dengan pemajakan final.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.