OPINI PAJAK

Menyoal Self-Assessment Pajak di Era Digital, Masih Pantaskah?

Redaksi DDTCNews
Senin, 13 Oktober 2025 | 14.00 WIB
Menyoal Self-Assessment Pajak di Era Digital, Masih Pantaskah?
Wilson Arafat,
Bankir Profesional

SELAMA lebih dari empat dekade, sistem self-assessment menjadi fondasi administrasi perpajakan di Indonesia. Negara memberikan kepercayaan kepada warga untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. Prinsipnya sederhana: pajak dibayar bukan karena paksaan, melainkan kesadaran warga negara.

Namun, di tengah kemajuan teknologi dan era kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), sistem ini menimbulkan pertanyaan mendasar: masih pantaskah negara meminta 'pelanggan utamanya' melakukan pekerjaan rumah fiskal yang rumit?

Dalam logika marketing, pajak adalah produk layanan publik, dan wajib pajak adalah pelanggan utama negara. Dalam bisnis modern, pelanggan adalah raja, bahkan pusat eksistensi perusahaan.

Karena itu, bila negara ingin menjaga kepercayaan publik, layanan fiskal seharusnya meniru prinsip bisnis, mestinya melebihi ekspektasi pelanggan.

Sayangnya, sistem self-assessment seolah-olah justru berbalik arah. Warga yang telah 'membayar' negara lewat pajak masih harus menghitung, mengisi formulir, mengunggah bukti, bahkan menjawab klarifikasi bila ada selisih angka. Dalam kacamata manajemen layanan, ini adalah customer journey yang penuh friction. Pengalaman yang melelahkan.

Paradoks Layanan Publik

Bayangkan restoran mewah di mana pelanggan yang selesai makan justru disuruh menghitung sendiri total tagihan, menulis nota, lalu mentransfer ke rekening restoran. Aneh, bukan? Tetapi begitulah sistem self-assessment bekerja. Negara menerima 'pembayaran', tetapi menyerahkan seluruh proses perhitungan kepada pembayar.

Padahal, dalam teori pemasaran modern, nilai utama layanan tidak hanya pada produknya, tetapi juga kemudahan dan kenyamanan dalam mengaksesnya. Amazon, Gojek, dan platform digital lainnya tidak sekadar menjual barang, mereka menjual simplicity dan seamless experiences. Pelanggan tidak mau direpotkan.

Dalam konteks fiskal, negara masih menempatkan wajib pajak sebagai co-worker dalam urusan administrasi. Seolah berkata, "Kami percaya Anda jujur, jadi silakan hitung dan laporkan sendiri". Padahal kepercayaan seperti ini bukan customer trust, melainkan operational outsourcing; pelimpahan beban administrasi kepada masyarakat.

Ironinya, pada era data dan AI, otoritas pajak sejatinya sudah memiliki kemampuan untuk mengetahui hampir seluruh profil keuangan warga secara digital. Transaksi perbankan, kepemilikan aset, hingga laporan pemotongan pajak pihak ketiga telah terekam.

Dengan teknologi, analisis bisa dilakukan dalam hitungan detik. Lantas, mengapa di era serba automasi ini, wajib pajak masih diminta menjadi kasir negara atas uang yang telah mereka serahkan?

Dari Kepatuhan Menuju Pengalaman

Kepatuhan pajak sejati tidak lahir dari kewajiban administratif, melainkan dari rasa dihargai. Jika customer satisfaction adalah inti bisnis, maka taxpayer satisfaction seharusnya menjadi inti reformasi fiskal.

Selama ini, self-assessment menonjolkan kepatuhan administratif, bukan pengalaman pengguna (user experiences). Padahal pelanggan yang puas bukan hanya mereka yang ekspektasinya terpenuhi, melainkan yang ekspektasinya terlampaui.

Negara seharusnya memperlakukan wajib pajak layaknya premium customer, disambut dengan sistem yang intuitif, dibantu teknologi cerdas, dan diyakinkan bahwa setiap rupiah yang dibayarkan dikelola transparan serta berdampak nyata.

Banyak negara telah bergerak ke arah itu. Australia melalui Australian Taxation Office (ATO), Selandia Baru melalui Inland Revenue (IRD), dan Swedia melalui Skatteverket, sama-sama telah menerapkan sistem pre-filled taxation. Otoritas pajak di ketiga negara itu secara otomatis menghitung kewajiban berdasarkan data yang telah dimiliki, dan wajib pajak hanya perlu mengonfirmasi.

Menurut Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam laporan Tax Administration 3.0 Framework, pendekatan ini menurunkan beban kepatuhan, meningkatkan akurasi data, serta memperkuat kepercayaan publik terhadap otoritas pajak. OECD menempatkan pre-filled return sebagai tonggak penting next generation tax administration.

Indonesia sebenarnya sudah berada di jalur yang sama melalui coretax system, e-faktur, dan prepopulated SPT. Namun, dalam semangat customer-centricity, langkah ini belum cukup.

Sistem pajak masa depan harus berani melangkah lebih jauh, yakni dengan menghapus kewajiban menghitung sendiri. Era AI governance memungkinkan terwujudnya autonomous compliance; pajak dihitung, diverifikasi, dan dilaporkan otomatis, bahkan sebelum wajib pajak menyadarinya.

Sebagaimana pelanggan bank tidak menghitung bunga sendiri, wajib pajak pun seharusnya tidak perlu menulis angka-angka di SPT. AI dapat mengelola proses itu, manusia cukup mengonfirmasi.

Inilah makna 'exceeding customer expectation' dalam layanan publik, yakni menjadikan kepatuhan bukan beban, melainkan pengalaman yang natural dan menyenangkan.

Dari Trust Menuju Delight

Sistem pajak modern tak lagi cukup berlandaskan trust; lebih darri itu, harus naik kelas menjadi delight. Wajib pajak yang puas bukan sekadar patuh, tetapi bangga menjadi bagian dari sistem fiskal yang memudahkan, adil, dan transparan.

Sudah saatnya DJP meninggalkan paradigma 'wajib pajak yang jujur' menuju 'wajib pajak yang dimanjakan oleh kemudahan'. Dengan dukungan kecerdasan buatan, big data, dan integrasi antar lembaga, infrastruktur pajak otomatis sesungguhnya telah siap.

Oleh karena itu, dibutuhkan perubahan cara pandang bahwa pelayanan fiskal bukan soal pengawasan, melainkan soal pengalaman. Negara tidak seharusnya terus meminta rakyat menjadi kasir atas uang yang mereka berikan.

Di era AI, the best tax system is the one you never feel. Sistem pajak terbaik adalah yang bekerja begitu halus hingga kita nyaris lupa sedang membayar pajak. Ketika pajak menjadi semudah satu sentuhan, saat itulah negara benar-benar telah melebihi ekspektasi pelanggannya.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.