Muhammad Farrel Arkan,
PERKENALKAN, saya Asri, bekerja sebagai staf pajak di suatu toko consumer goods yang berstatus pengusaha kena pajak (PKP). Belakangan ini terdapat beragam informasi yang beredar mengenai ketentuan besaran tarif pajak pertambahan nilai (PPN) yang berlaku per 1 Januari 2025.
Pertanyaan saya, sebagai PKP yang melakukan pemungutan PPN atas penjualan barang kena pajak (BKP) di Indonesia, berapa besaran tarif PPN yang harus kami terapkan dalam perhitungan PPN terutang? Mohon penjelasannya. Terima kasih.
Asri, Jakarta.
TERIMA kasih atas pertanyaannya, Ibu Asri. Untuk menjawab pertanyaan Ibu, kita dapat mengacu pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah s.t.d.t.d Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU PPN s.t.d.t.d. UU HPP).
Pada hakikatnya, tarif PPN sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU PPN s.t.d.t.d. UU HPP adalah sebagai berikut:
Sesuai amanat undang-undang maka tarif PPN yang berlaku per 1 Januari 2025 seharusnya adalah sebesar 12%. Kemudian, tarif tersebut dikalikan dengan suatu dasar pengenaan pajak (DPP) untuk mendapatkan jumlah PPN yang terutang sesuai Pasal 8A ayat (1) UU PPN s.t.d.t.d UU HPP. Adapun komponen DPP dalam formula perhitungan tersebut dapat berupa: (i) harga jual; (ii) penggantian; (iii) nilai impor; (iv) nilai ekspor; atau (v) nilai lain.
Namun, memang perlu diperhatikan bahwa belakangan ini beredar ragam informasi mengenai besaran tarif PPN yang berlaku per 1 Januari 2025. Di satu sisi, terdapat pihak yang menyampaikan bahwa pengenaan tarif PPN 12% hanya berlaku untuk BKP yang tergolong mewah. Di sisi lain, terdapat pula pihak yang beranggapan bahwa tarif PPN 12% berlaku untuk seluruh penyerahan BKP dan jasa kena pajak (JKP).
Lantas, berapa sebenarnya besaran tarif PPN yang berlaku per 1 Januari 2025? Terkait dengan hal itu, pemerintah baru saja menerbitkan peraturan yang menjawab keraguan penerapan tarif tersebut. Simak ‘PMK Terbaru soal PPN 12% Akhirnya Terbit, Begini Perinciannya’.
Beleid yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Keuangan No. 131 Tahun 2024 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Impor Barang Kena Pajak, Penyerahan Jasa Kena Pajak, Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean, dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean (PMK 131/2024).
Secara umum, perlu diketahui bahwa PMK 131/2024 mengatur perlakuan PPN atas dua hal. Pertama, perlakuan PPN atas penyerahan BKP yang tergolong mewah. Kedua, perlakuan PPN atas penyerahan BKP nonmewah/JKP.
Terkait dengan perlakuan PPN atas penyerahan BKP yang tergolong mewah diatur dalam Pasal 2 PMK 131/2024. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) PMK 131/2024, PPN terutang atas impor BKP dan/atau penyerahan BKP di dalam daerah pabean. Kemudian, Pasal 2 ayat (2) PMK 131/2024 mengatur bahwa PPN yang terutang tersebut dihitung dengan cara mengalikan tarif 12% dengan DPP berupa harga jual atau nilai impor.
Adapun Pasal 2 ayat (3) PMK 131/2024 menjelaskan bahwa BKP yang termasuk dalam ketentuan perhitungan di atas merupakan BKP yang tergolong mewah. Sebagai informasi, BKP tersebut juga dikenai pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Simak ‘Apa Itu Barang Tergolong Mewah yang Kena PPnBM?’
Berikutnya, terkait dengan perlakuan PPN atas penyerahan BKP nonmewah/JKP diatur dalam Pasal 3 PMK 131/2024. Secara lebih rinci, Pasal 3 ayat (1) PMK 131/2024 mengatur bahwa PPN terutang atas transaksi berikut:
“Atas Impor dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean oleh Pengusaha selain Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean oleh Pengusaha, di dalam Daerah Pabean, pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean terutang Pajak Pertambahan Nilai.”
Kemudian, Pasal 3 ayat (2) PMK 131/2024 mengatur bahwa PPN yang terutang tersebut dihitung dengan cara mengalikan tarif 12% dengan DPP berupa nilai lain. Adapun nilai lain dihitung sebesar 11/12 dari nilai impor, harga jual, atau penggantian berdasarkan Pasal 3 ayat (3) PMK 131/2024. Simak ‘Cari Tahu soal Apa itu DPP Nilai Lain, Setelah PPN 12%’.
Penggunaan nilai lain tersebut membuat nilai PPN terutang tetap sama dengan tahun sebelumnya. Simak ‘Pemerintah Otak-Atik DPP PPN 12 Persen, Pajak Terutang Tetap Sama’.
Dalam konteks pertanyaan Ibu, dapat diasumsikan bahwa barang yang dijual tergolong sebagai BKP nonmewah. Maka, PPN yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif PPN sebesar 12% dengan DPP berupa nilai lain sebesar 11/12 dari harga jual. Oleh karena itu, sejatinya nilai PPN yang akan dipungut toko Ibu pada tahun 2025 tetap sama dengan PPN yang dipungut pada tahun sebelumnya. Untuk memudahkan, berikut contoh perhitungannya.
Toko Andro (berstatus PKP) menjual peralatan dapur dengan harga penjualan sebesar Rp100.000. PPN yang dipungut oleh Toko Andro adalah:
Berdasarkan perhitungan di atas, Toko Andro harus memungut PPN sebesar Rp11.000 atas penjualan peralatan dapur. Nilai PPN yang dipungut pada 2025 tetap sama dengan 2024 selama tidak ada perubahan harga penjualan.
Sebagai informasi tambahan, PMK 131/2024 tidak mengatur kode transaksi faktur pajak yang harus digunakan dalam hal PPN dihitung dengan DPP nilai lain sebesar 11/12 dari harga jual. Simak ‘Apa Itu Kode Transaksi Faktur Pajak dan Bagaimana Penggunaannya?’
Kendati demikian, berdasarkan keterangan Ditjen Pajak (DJP), kode transaksi yang harus digunakan dalam pembuatan faktur pajak tersebut adalah 04. Simak juga ‘PPN Dihitung dengan DPP 11/12 dari Harga Jual, DJP: Kode Fakturnya 04’.
Demikian jawaban yang dapat disampaikan. Semoga membantu.
Sebagai informasi, artikel Konsultasi Pajak hadir setiap pekan untuk menjawab pertanyaan terpilih dari pembaca setia DDTCNews. Bagi Anda yang ingin mengajukan pertanyaan, silakan mengirimkannya ke alamat surat elektronik [email protected]. (sap)