OPINI PAJAK

Menyoal Kepastian Hukum Transaksi Penjualan Tripartit Lintas Negara

Redaksi DDTCNews
Selasa, 18 November 2025 | 12.30 WIB
Menyoal Kepastian Hukum Transaksi Penjualan Tripartit Lintas Negara
Arifin Halim,
Akademisi dan Praktisi Pajak

PERDAGANGAN global makin berkembang pesat seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi dan internet. Dalam praktiknya, transaksi lintas negara dapat dilakukan tanpa membutuhkan gudang, pelabuhan, bahkan pertemuan tatap muka.

Melalui sarana daring seperti email, WhatsApp, atau platform digital, perusahaan di Indonesia kini dapat menjual barang kepada pembeli di luar negeri padahal produknya sama sekali tidak pernah masuk ke wilayah Indonesia. Aktivitas ini tidak lazim seperti ekspor-impor konvensional.

Fenomena itu penulis sebut sebagai 'Transaksi Penjualan Tripartit Lintas Negara (TP3LN)'. Istilah itu digunakan untuk membedakan dengan ekspor-impor konvensional. Dalam literatur internasional, pola ini dikenal sebagai triangular international trade.

Pada prinsipnya, TP3LN adalah penjualan oleh perusahaan Indonesia kepada pembeli di luar negeri, dengan barang yang berasal dan dikirim langsung dari luar negeri tanpa pernah masuk ke dalam daerah pabean Indonesia. Transaksi ini bukanlah penjualan ekspor konvensional, apalagi penjualan lokal.

Sejatinya, TP3LN adalah penyerahan barang yang bukan merupakan objek PPN. Namun, kondisi ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana cara melaporkan TP3LN dalam SPT Masa PPN?

TP3LN melibatkan tiga pihak. Pihak pertama, yakni penjual. Pihak kedua, yakni pembeli. Pihak ketiga, pemasok (supplier) dari pihak pertama. Sekilas, TP3LN tampak mirip dengan transaksi pedagang perantara. Namun, karena seluruh tanggung jawab berada pada penjual dan dilakukan atas nama sendiri, TP3LN tergolong sebagai transaksi perdagangan biasa.

Dalam dunia usaha, selama ini telah berlangsung TP3LN yang dilakukan secara konvensional. Namun transaksi ini belum banyak dilakukan secara elektronik dan di lapangan sering terjadi multitafsir antara otoritas pajak dengan wajib pajak terkait dengan penerapan pajak pertambahan nilai (PPN). Potensi multitafsir dan risiko dikenai PPN membuat sebagian wajib pajak enggan menjalankan peluang bisnis ini.

Kita pahami situasinya dengan ilustrasi berikut ini.

PT XYZ di Indonesia menjual 10.000 kemeja kepada AAA Sdn. Bhd. di Malaysia. Namun, barangnya dikirim langsung dari pemasok PT XYZ di Vietnam (ZZZ LLC) ke Malaysia tanpa pernah melewati Indonesia.

Secara bisnis, PT XYZ memperoleh keuntungan dari selisih harga jual dan beli. Namun, secara administrasi perpajakan, transaksi ini menimbulkan ketidakjelasan karena tidak termasuk dalam kategori ekspor konvensional maupun penjualan lokal. Bila dilaporkan sebagai penyerahan yang tidak terutang PPN juga berpotensi dimintai klarifikasi oleh otoritas pajak.

Dalam SPT Masa PPN saat ini belum tersedia ruang secara eksplisit untuk melaporkan peredaran usaha atas TP3LN, yaitu transaksi yang barangnya dikirim langsung dari pemasok di luar negeri ke pembeli di luar negeri. Saat ini hanya ada 3 kelompok untuk pelaporan, yaitu penjualan ekspor konvensional, penjualan lokal, dan penyerahan barang/jasa yang tidak terutang PPN. Oleh karena itu, perlu adanya kepastian hukum agar pelaporan TP3LN dapat dilakukan secara tepat dan konsisten.

Dalam transaksi di atas, PT XYZ selaku wajib pajak dalam negeri yang selanjutnya disebut WP DN tentu kesulitan dalam melaporkan TP3LN di SPT Masa PPN. Alasannya, pertama, apabila dilaporkan sebagai penyerahan barang yang tidak terutang PPN maka akan dipertanyakan oleh otoritas perpajakan. Karenanya, praktik TP3LN perlu dimasukkan secara khusus ke dalam kelompok ini.

Kedua, bila dilaporkan sebagai ekspor, perusahaan tidak bisa membuktikan adanya Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB), karena barang tidak pernah keluar dari Indonesia ke Malaysia.

Ketiga, bila dilaporkan sebagai penjualan lokal, otoritas pajak dapat menagih PPN, padahal barang dikonsumsi di luar negeri. Pada prinsipnya, PPN merupakan pajak atas konsumsi yang terjadi di dalam daerah pabean sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPN juncto penjelasan umum UU Nomor 42 Tahun 2009.

Belum diaturnya pelaporan TP3LN secara eksplisit dalam SPT Masa PPN menimbulkan ketidakpastian hukum bagi WP DN. Situasi ini membuka ruang penafsiran berbeda dari otoritas pajak. Kondisi ini juga membuat sebagian WP DN ragu menjalankan peluang bisnis TP3LN lantaran khawatir dikenai PPN saat pemeriksaan. Akibatnya, negara justru berpotensi kehilangan tambahan penerimaan dari Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) atas opportunity laba dari TP3LN.

Selain contoh PT XYZ di atas, ada juga kasus serupa di mana WP DN menjual kepada perusahaan lokal lain. Namun, penyerahan dilakukan di atas kapal sebelum dibongkar di pelabuhan tujuan di Indonesia. Dalam situasi ini, pihak pembeli yang menyampaikan Pemberitahuan Impor Barang (PIB) sekaligus mengurus pengeluaran barang impor dari pelabuhan.

Kejelasan pengaturan secara eksplisit mengenai pelaporan peredaran usaha TP3LN dalam SPT Masa PPN akan mendorong WP DN lebih antusias merebut peluang pasar ini.

Sangat disayangkan apabila peluang bisnis ini belum dapat dimanfaatkan secara optimal karena potensi multitafsir dalam pelaporan atas TP3LN di SPT Masa PPN. Akibatnya, WP DN enggan menghadapi potensi multitafsir dari otoritas pajak. Bila ketidakpastian hukum dalam hal ini tetap berlangsung, tentu akan menguntungkan pengusaha dari negara lain yang merebut peluang bisnis ini.

Rekomendasi Kebijakan

Pemerintah perlu mempertimbangkan meraih peluang peningkatan penerimaan pajak dari opportunity laba atas Transaksi Penjualan Tripartit Lintas Negara (TP3LN) dengan memberikan kepastian hukum, yaitu dengan menyediakan ruang pelaporan khusus di SPT Masa PPN. Ruang ini dapat ditempatkan sebagai subkategori dari 'Penyerahan barang/jasa yang tidak terutang PPN'.

Langkah tersebut penting untuk menciptakan kepastian hukum atas TP3LN sebagai model bisnis masa depan, menghindari multitafsir, dan menyelaraskan data peredaran usaha WP DN antara SPT Tahunan PPh Badan dengan SPT Masa PPN.

Kepastian hukum akan menciptakan iklim berusaha yang lebih kondusif di Indonesia, mengurangi sengketa pajak, dan sekaligus meningkatkan penerimaan negara dari PPh Badan. Dengan demikian, negara dan wajib pajak sama-sama diuntungkan melalui sistem perpajakan yang adil, pasti, dan adaptif terhadap dinamika perdagangan global.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.