BERITA PAJAK HARI INI

Pemerintah Otak-Atik DPP PPN 12 Persen, Pajak Terutang Tetap Sama

Redaksi DDTCNews
Kamis, 02 Januari 2025 | 09.17 WIB
Pemerintah Otak-Atik DPP PPN 12 Persen, Pajak Terutang Tetap Sama

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah mengotak-atik nilai dasar pengenaan pajak (DPP) terhadap pemberlakuan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12%. Topik ini menjadi salah satu ulasan utama media nasional pada hari ini, Kamis (2/1/2024). 

Seperti diketahui, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 131/2024 yang mengatur perincian tarif pajak pertambahan nilai (PPN). Beleid ini terbit menyusul batalnya kenaikan tarif PPN menjadi 12%. Pada akhirnya, kenaikan tarif PPN menjadi 12% hanya menyasar barang dan jasa mewah. 

Selanjutnya, terhadap barang dan jasa yang tidak tergolong mewah, pemerintah menetapkan penyesuaian DPP nilai lain untuk menghitung PPN terutang. Pemberlakuan DPP nilai lain tersebut membuat nilai PPN terutang yang harus dibayar masyarakat tetap sama. 

Secara garis besar, PMK 131/2024 mengatur 2 hal. Pertama, PPN terutang terhadap barang mewah yang dikenai PPnBM dihitung dari DPP berupa harga jual atau nilai impor. Formula PPN terutangnya, tarif PPN 12% dikalikan dengan harga jual atau nilai impor. 

Kedua, PPN terutang terhadap barang dan jasa selain barang mewah dihitung dari DPP berupa nilai lain, yakni sejumlah 11/12 dari nilai impor, harga jual, atau penggantian. Formulanya, tarif PPN 12% dikalikan dengan 11/12 dikalikan dengan harga jual, nilai impor, atau penggantian. 

"Besaran PPN yang harus dibayar adalah sama dengan tahun-tahun sebelumnya," tulis Ditjen Pajak (DJP) dalam keterangannya. 

Guna memperjelas pemahaman publik mengenai pengenaan PPN terbaru, DJP memberikan contoh perhitungan PPN berdasarkan PMK 131/2024 berikut ini. 

Avi membeli sepeda seharga Rp1.000.000. Perhitungan PPN yang semestinya dibayar adalah:

Pembelian pada 2024
PPN tarif 11% dan DPP adalah harga jual sepeda:
11% x Rp1.000.000 = Rp110.000

Pembelian pada 2025
PPN tarif 12% dan DPP 11/12 dari harga jual sepeda:
12% x 11/12 x Rp1.000.000 = Rp110.000

Artinya, besaran PPN yang harus dibayar Avi tidak berbeda, yakni Rp110.000, baik dari pembelian pada 2024 atau 2025.

Namun, perlu dicatat bahwa PMK 131/2024 juga mengatur bahwa pengusaha kena pajak (PKP) yang selama ini telah menggunakan DPP nilai lain dan besaran tertentu yang ketentuannya telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, tidak dapat menggunakan penghitungan sebagaimana yang diatur dalam PMK 131/2024 ini. 

Selanjutnya, khusus bagi PKP yang melakukan penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah kepada konsumen akhir, berlaku periode transisi dalam penerapan PPN 12%. Perinciannya, selama 1-31 Januari 2025, PPN dihitung dengan mengalikan tarif PPN 12% dengan DPP berupa nilai lain sebesar 11/12 dari harga jual. 

Kemudian, mulai 1 Februari 2025, PPN dihitung dengan cara mengalikan tarif PPN 12% dengan harga jual atau nilai impor. 

Selain pembahasan mengenai PPN 12% dan DPP nilai lain yang menyertainya, ada pula beberapa topik yang menjadi ulasan utama media nasional pada hari ini. Di antaranya, harga-harga barang yang telanjur naik meski PPN batal naik, makanan dan jasa premium yang tidak jadi dikenai PPN, hingga peluncuran coretax system

Berikut ulasan artikel perpajakan selengkapnya. 

Efek Psikologis PPN 12 Persen Telanjur Terasa

Kendati tarif PPN 12% tidak jadi dikenakan terhadap seluruh objek pajak secara luas, dampak psikologisnya telanjur dirasakan masyarakat. Di Kota Bandung, Jawa Barat dan Kendari, Sulawesi Tenggara misalnya, harga kebutuhan pokok di pasar rakyat terpantau sudah mengalami kenaikan menjelang akhir tahun. 

Beberapa komoditas yang harganya terpantau naik signifikan, terutama beras premium dan telur.

Kepala Dinas Perdagangan Kendari Aldakesutan Lapae menjelaskan lonjakan harga sebenarnya merupakan fenomena tahunan yang dipengaruhi oleh tingginya permintaan pada libur Natal dan tahun baru. Hanya saja, dia tidak menampik memang ada efek psikologis yang dirasakan pedagang terkait dengan kenaikan PPN menjadi 12%. (Harian Kompas)

Makanan dan Jasa Premium Tak Jadi Kena PPN

Pemerintah akhirnya tetap memberikan pembebasan PPN terhadap bahan makanan, jasa kesehatan, dan jasa pendidikan premium. Keputusan ini diumumkan langsung oleh Presiden Prabowo dan dikuatkan melalui penjelasan Menteri Keuangan Sri Mulyani. 

Kebijakan yang ditetapkan pemerintah pada malam tahun baru ini berbeda dari keputusan sebelumnya, yakni wacana pengenaan tarif umum PPN 12% terhadap barang kebutuhan pokok premium, jasa kesehatan premium, dan jasa pendidikan premium. 

"Yang selama ini dapat 0% [nol persen], tetap 0%," ujar Sri Mulyani. (DDTCNews)

Pembatalan Kenaikan PPN Diharapkan Dorong Ekonomi

Keputusan pemerintah untuk menerapkan PPN 12% hanya terbatas pada barang dan jasa mewah diharapkan menjadi pendorong aktivitas konsumsi rumah tangga pada awal 2025. 

Kendati PPN batal naik, pemerintah tetap punya pekerjaan rumah untuk memastikan efektivitas sejumlah insentif fiskal yang digulirkan. Global Market Economist Maybank Indonesia Myrdal Gunarto meyakini keputusan pemerintah terkait dengan PPN akan berdampak positif terhadap ekonomi kuartal I/2025. 

Paket kebijakan ekonomi, yang terdiri dari sejumlah kemudahan fiskal bagi masyarakat, ditambah dengan batalnya kenaikan PPN diyakini bisa mem-boost daya beli masyarakat. (Kontan)

Risiko Shortfall yang Menganga

Tantangan pemerintah dalam mengejar target penerimaan pajak sepanjang 2024 makin berat. Shortfall penerimaan pajak pada 2024 diperkirakan akan lebih lebar dari yang diproyeksikan. 

Kementerian Keuangan mencatat penerimaan pajak hingga November 2024 baru senilai Rp1.688,93 triliun atau 84,92% dari target. Pemerintah memasang outlook shortfall penerimaan pajak 2024 akan mencapai Rp67 triliun. 

Pada 2025, tantangan dalam mengejar penerimaan pajak makin berat. Dibatasinya PPN 12% hanya untuk barang dan jasa mewah membuat potensi penerimaan pajak makin mengecil. 
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco mengatakan kebijakan terbaru pemerintah soal PPN hanya akan menambah Rp3,2 triliun pada APBN 2025. 

Tak cuma itu, tantangan yang masih dihadapi pemerintah dalam menggenjot penerimaan pajak adalah lemahnya regulasi, rendahnya kesadaran pajak, dan basis data perekonomian yang belum sepenuhnya terintegrasi dan akurat. (Kontan)

Coretax System Resmi Diluncurkan

Presiden Prabowo Subianto resmi meluncurkan sistem inti administrasi perpajakan terbaru atau coretax administration system pada DJP.

Prabowo meluncurkan coretax system ini bersamaan dengan rapat tutup kas APBN 2024. Dengan peluncuran ini, coretax system mulai diimplementasikan pada 1 Januari 2025.

DJP menjelaskan peluncuran coretax system menjadi penanda Indonesia memasuki era baru sistem administrasi perpajakan yang jauh lebih efisien dan efektif. Harapannya, biaya kepatuhan pajak dapat ditekan karena wajib pajak tidak perlu sering berkunjung ke kantor pajak. (DDTCNews) (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.