Kania Dara Asti,
DALAM ITR Asia Tax Forum pada 24-25 Agustus 2022, banyak sekali isu perpajakan yang didiskusikan. Salah satu isu yang menarik terkait dengan perdebatan atas pemajakan aset kripto dan virtual digital assets (VDA).
Isu tersebut dibahas 3 orang panelis sekaligus praktisi dari India. Mereka adalah Global Taxation Head dari PVR Cinema Pushpendra D., Head of Taxation dari Syngene International Limited Navneet S., dan Group Head Corporate Tax dari GMR Airports Ltd Sanjay G.
Pembahasan menjadi makin menarik karena ketiga panelis membawa sudut pandang bervariasi. Berdasarkan pada informasi yang diungkap para panelis, telah terjadi perubahan tren penyelesaian transaksi di India.
Pascapandemi Covid-19, kripto dinilai mempunyai nilai tukar yang lebih stabil dibandingkan dengan uang kartal. Berpijak dari kondisi tersebut, pembahasan pada akhirnya bermuara pada pertanyaan tentang cara memajaki aset kripto.
Sesuai dengan informasi yang dipaparkan panelis, pada saat ini sedang terjadi perdebatan mengenai pemajakan aset kripto di India.
Saat ini, India menerapkan pemajakan atas VDA. Adapun VDA ini juga mencakup aset kripto, non-fungible token (NFT) dan token yang serupa, serta aset virtual lainnya yang nanti akan didefinisikan oleh pemerintah India.
Adapun regulasi terkait dengan kripto yang kini berlaku di India adalah pemajakan sebesar 30%. Pajak tersebut dikenakan atas penghasilan dari keuntungan yang didapat karena adanya transaksi pengalihan kripto (Section 115BBH, Income Tax Act 1961).
Namun demikian, masih terdapat pertanyaan, perlu atau tidaknya aset kripto dimasukkan sebagai pendapatan bisnis. Pertanyaan itu muncul mengingat banyaknya transaksi saat ini yang dibayarkan dengan aset kripto atau pendapatan lain-lain karena pertimbangan trading kripto bukan usaha inti perusahaan.
Konteks Indonesia
BAGAIMANAKAH pengaturan di Indonesia? Secara definisi, aset kripto ialah aset tidak berwujud yang berbentuk aset digital, termasuk yang menggunakan kriptografi, jaringan peer-to-peer, dan buku besar yang terdistribusi (Peraturan Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia No. 24/11/PADG/2022).
Aset digital virtual (ADV) di Indonesia juga telah menjadi perbincangan hangat sejak timbulnya fenomena Ghozali Everyday pada Januari 2022 silam. DDTCNews juga sempat mengulasnya dalam Fokus bertajuk Menanti Racikan Pajak Aset Kripto.
Makin berkembangnya pasar aset kripto pada akhirnya menuntut adanya regulasi yang jelas dan menyeluruh. Regulasi atas ekosistem aset kripto itu juga menyangkut aspek pajak. Sebab, ada risiko dari perkembangan aset kripto tersebut kepada sistem keuangan dan perekonomian (ECB, 2019).
Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah yang cekatan dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 68/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan Atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto.
Sesuai dengan PMK tersebut, pemerintah telah mempertimbangkan suatu ketentuan mengenai perlakuan PPN dan PPh atas transaksi perdagangan aset kripto. Nilai aset kripto yang dimiliki itu juga harus disampaikan dalam SPT Tahunan PPh orang pribadi.
Berdasarkan pada PMK 68/2022 dapat dimengerti pada dasarnya atas penyerahan aset kripto—yang termasuk sebagai barang kena pajak—perlu dipungut PPN. Selain itu, penghasilan yang diterima penjual aset kripto, penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE), dan penambang aset kripto dikenai PPh.
Dari peraturan tersebut juga dapat dilihat bahwa aset kripto dimaknai sebagai komoditas yang memiliki nilai tambah, sehingga patut dikenakan pajak atas pertambahan nilainya (O. S. Bolotaeva et al, 2019).
Komparasi
SETELAH melihat perbandingan regulasi antara India dan Indonesia, ada beberapa aspek yang bisa dilihat. Salah satunya terkait dengan perlakuan terhadap aset kripto. Indonesia secara tegas tidak menjadikan aset kripto sebagai alat pembayaran yang sah (UU No. 7 Tahun 2011; Bappebti, 2021).
Sementara itu, di India, tidak terdapat pengaturan yang serupa dengan di Indonesia. Dengan demikian, posisi kripto sebagai mata uang tidak dapat dikatakan legal ataupun ilegal (The Indian Express, 2022).
Satu hal yang pasti, baik India maupun Indonesia, memandang kripto sebagai sebuah komoditas. Namun, regulasi atas PPN atau goods and services tax (GST) sehubungan transaksi perdagangan asset kripto ini masih belum dirampungkan pemerintah India (India Times, 2022; Bloomberg, 2022)
Berdasarkan pada perbandingan sederhana tersebut dapat disimpulkan, baik India maupun Indonesia, telah mengambil langkah pengaturan pajak aset kripto. Definisi yang diatur sehubungan kripto ini bukan didekatkan sebagai mata uang (currency), melainkan sebuah aset atau komoditas.
Namun demikian, di India, definisi kripto sebagai goods belum mampu diterapkan sebab regulasi PPN belum diimplementasikan. Hal ini berbeda dengan Indonesia yang telah memajaki PPN atas transaksi perdagangan aset kripto seiring dengan dikeluarkannya PMK 68/2022.
Sebagai informasi, artikel analisis ini merupakan hasil keikutsertaan penulis dalam konferensi bertaraf internasional. Keikutsertaan penulis merupakan bagian dari Human Resources Development Programme (HRDP) DDTC.
Melalui HRDP, DDTC rutin memberangkatkan para profesionalnya dengan beasiswa penuh untuk mengikuti berbagai pelatihan, kursus, hingga studi lanjut S-2 di berbagai universitas ternama di dalam dan luar negeri.