ZAKAT merupakan instrumen redistribusi kekayaan yang termasuk ke dalam rukun Islam yang wajib dilaksanakan (M. Nadratuzzaman Hosen dan AM. Hasan Ali, 2008).
Zakat sendiri terdiri dari dua macam. Pertama, zakat fitrah yang wajib dikeluarkan oleh umat Islam yang memenuhi kualifikasi dan dibagikan menjelang hari raya Idul Fitri sampai sebelum sholat Idul Fitri. Zakat fitrah dikeluarkan dalam bentuk makanan pokok yang mayoritas dikonsumsi di suatu negara.
Kedua, zakat mal yang wajib dikeluarkan atas harta yang berasal dari penghasilan dengan persyaratan tertentu. Misalnya, hasil pertanian, barang-barang komersial, emas, perak, pendapatan, tabungan, hasil galian, serta kekayaan hasil tambang (Zahid Mahmood, 2018).
Lalu, bagaimana kaitannya antara zakat dengan ketentuan pajak penghasilan? Sebagaimana kita ketahui berdasarkan ketentuan pajak penghasilan (PPh) di Indonesia, zakat dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Kendati demikian, zakat tersebut harus dibayarkan melalui badan/lembaga penerima zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah. Tulisan selengkapnya dapat dibaca di sini. Selanjutnya bukti setor pembayaran zakat yang akan menjadi acuan untuk dapat dijadikan sebagai biaya fiskal.
Pengaturan serupa juga terdapat di Malaysia sebagaimana diatur dalam Section 44 (11A) Malaysian Income Tax Act 1967 (UU PPh Malaysia). Pembayaran zakat kepada otoritas keagamaan yang diakui di Malaysia maka zakat tersebut dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan kena pajak (Salwa Hana Yussof, 2013).
Selanjutnya, bagaimana zakat dalam perspektif perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B)? Apakah zakat dapat didefinisikan sebagai “pajak” yang dicakup dalam ketentuan P3B?
Zakat dalam Perspektif P3B
Salah satu tujuan dibentuknya P3B, yaitu untuk mengeliminasi pajak berganda secara yuridis. Artinya, jangan sampai suatu negara sama-sama mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang sama.
Untuk itu, suatu P3B membatasi hak pemajakan suatu negara untuk mengenakan pajak atas suatu penghasilan tertentu. Artinya, ketika suatu negara sepakat mengadakan P3B maka negara tersebut setuju haknya untuk mengenakan pajak dibatasi berdasarkan pembatasan yang diatur dalam P3B tersebut (Kevin Holmes sebagaimana dikutip oleh Darussalam, 2017).
Kendati demikian, salah satu elemen kunci dalam penerapan P3B adalah apakah pihak yang memanfaatkan fasilitas P3B merupakan pihak yang dikenakan pajak berdasarkan maksud dan ketentuan dalam P3B tersebut (Darussalam dan Danny Septriadi, 2017).
Untuk dapat menerapkan suatu P3B, terdapat tahapan-tahapan yang harus dipenuhi. Rincian tahap-per-tahap selengkapnya dapat dilihat dalam bab 3 buku Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang dapat diunduh secara gratis di sini.
Pada tahap pertama penerapan P3B, salah satu langkah yang harus dilakukan adalah menentukan pengertian pajak yang dicakup (taxes covered) dalam suatu P3B. Terkait tahap pertama ini, pertanyaannya adalah apakah zakat dapat diperlakukan sebagai “pajak” yang dicakup dalam P3B?
Terkait pertanyaan di atas, dikembalikan lagi kepada masing-masing negara yang mengadakan P3B. Hal ini juga selaras dengan OECD Commentary atas Pasal 2 yang memberikan kebebasan bagi negara yang mengadakan P3B untuk memberikan klarifikasi atas pajak apa saja yang dikenakan.
Sebagai contoh, Pasal 2 ayat (3) P3B Belanda dan Kuwait, zakat secara khusus disebutkan sebagai pajak yang dicakup dalam ruang lingkup P3B yang mereka sepakati. Contoh lain, P3B Saudi Arabia dan Belanda juga memasukan zakat sebagai pajak yang dicakup dalam P3B (Niels Muller, 2010).
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa kalau memang dikehendaki oleh negara yang mengadakan P3B, zakat dapat diperlakukan sebagai “pajak” dalam konteks P3B (Joost van den Berg, 2010).